Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan bahwa industri kelapa sawit Indonesia masih rawan praktik korupsi. Dari hulu ke hilir, mulai masalah perizinan hingga aliran dana pungutan ekspor sawit masih rawan penyimpangan.
Juru Bicara KPK Febri Diansyah menuturkan, pengendalian pungutan ekspor kelapa sawit dinilai belum efektif karena sistem verifikasi belum berjalan baik. Penggunaan dana pungutan ekspor sawit lebih banyak untuk subsidi biodiesel. Padahal seharusnya penggunaan dana terbagi untuk penanaman kembali, peningkatan sumber daya manusia, peningkatan sarana dan prasarana, promosi dan advokasi, dan riset.
“Parahnya, subsidi (biodiesel) ini salah sasaran dengan tiga grup usaha perkembunan mendapatkan 81,7 persen dari Rp 3,25 triliun alokasi dananya,” kata Febri dikutip dari siaran persnya, Selasa (25/4).
(Baca juga: Legalitas Lahan Dipertanyakan, Petani Sawit Sulit Raih Pendanaan)
Kajian KPK tentang pengelolaan kelapa sawit mencatat sedikitnya ada 11 perusahaan yang memperoleh dana perkebunan tersebut untuk program biofuel periode Agustus 2015-April 2016.
Perusahaan itu adalah PT Wilmar Bionergi Indonesia; PT Wilmar Nabati Indonesia; Musim Mas, PT Eterindo Wahanatama; PT Anugerahinti Gemanusa; PT Darmex Biofuels; PT Pelita Agung Agrindustri; PT Primanusa Palma Energi; PT Ciliandra Perkasa; PT Cemerlang Energi Perkasa; dan PT Energi Baharu Lestari.
Dana pungutan terbesar diterima oleh PT Wilmar Nabati Indonesia yakni Rp 1,02 triliun atau 31 persen dari total Rp 3,2 triliun. Biofuel yang diproses oleh perusahaan itu mencapai 330.139.061 liter.
Dana tersebut diperoleh dari pungutan sebesar US$ 50 untuk tiap ton minyak sawit mentah (Crude Palm Oil / CPO) dan US$ 30 untuk tiap ton produk turunan sawit yang diekspor. Pada pertengahan 2016, dana pungutan mencapai sekitar Rp 5,6 triliun dan ditargetkan mencapai Rp 10 triliun pada akhir 2017.
(Baca juga: Pengusaha Biodiesel Minta Pemerintah Cegah Sanksi Dagang Trump)
Mekanisme pungutan itu diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2015 tentang Penghimpunan Dan Penggunaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit pada Mei 2015. Penyaluran dananya melalui Badan Pengelola Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP) yang kini dipimpin oleh Dono Boestami.
KPK menyatakan penggunaan dana itu oleh korporasi besar itu justru membuat pengembangan perkebunan sawit berkelanjutan tak akan tercapai. “Sistem pencatatan penerimaan negara dari pungutan ekspor CPO tak berjalan sesuai peraturan perundangan, sehingga menimbulkan ketidakpastian penerimaan negara.”
Sementara, pungutan pajak sektor kelapa sawit tak optimal dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak. Tingkat kepatuhan pajak baik perorangan maupun badan juga mengalami penurunan. Sejak tahun 2011-2015, wajib pajak badan dan perorangan kepatuhannya menurun masing-masing sebanyak 24,3 persen dan 36 persen.
Sementara di hulu, saat ini masih ada tumpang tindih izin lahan seluas 4,69 juta hektare dalam perkebunan sawit. Lemahnya mekanisme perizinan membuat sektor ini menjadi rawan praktik korupsi yang melibatkan kepala daerah. “Seperti yang sudah ditangani oleh KPK, yakni Bupati Buol Amran Batalipu dan Gubernur Riau Rusli Zainal,” kata Febri.
(Baca juga: Indonesia dan Malaysia Bakal Bawa Diplomasi Sawit ke Uni Eropa)
Dari hasil kajian ini, menurut Febri, KPK merekomendasikan Kementerian Pertanian dan kementerian/lembaga terkait harus menyusun rencana aksi perbaikan sistem pengelolaan komoditas kelapa sawit. “KPK akan melakukan pemantauan dan evaluasi atas implementasi rencana aksi tersebut,” ujar mantan aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW) ini.