UU Jasa Konstruksi Terbit untuk Proyek Pemerintah dan Swasta

ANTARAFOTO/Yulius Satria Wijaya
Penulis: Miftah Ardhian
21/3/2017, 18.52 WIB

Kedua, aturan yang ketat terkait perusahaan asing dan juga penggunaan tenaga kerja asing. Dalam UU ini, badan usaha asing harus mempekerjakan lebih banyak tenaga kerja lokal dibandingkan dengan tenaga kerja asing. Memang, penggunaan tenaga kerja asing tidak dilarang tetapi jumlahnya harus seminimal mungkin. Selain itu, pimpinan perusahaan pun harus diisi oleh tenaga kerja lokal.

"Ini memang sempat menjadi perdebatan kami dalam menyusun UU Jasa Konstruksi," ujar Fary.

Ketiga, adanya aturan terkait dengan proses penetapan kegagalan pembangunan. Penyedia jasa konstruksi harus bisa menghasilkan produk berkualitas, yang terjamin dari sisi keamanan, keselamatan, kesehatan, dan berkelanjutan. Dalam UU sebelumnya, indikator kegagalan pembangunan hanya sebatas ketidaksesuaian antara pekerjaan riil dengan yang dijanjikan.

Penyedia jasa konstruksi harus menjamin tidak ada kegagalan pembangunan dengan jangka waktu maksimal 10 tahun, sesuai dengan daya tahan konstruksi yang dijanjikan sejak awal. "Inti dari pembahasan dan kesepakatan UU ini itu agar bagaimana pelaku jasa konstruksi menjadi tuan rumah di negeri sendiri," ujarnya.

UU ini juga mengatur tentang penyelesaian sengketa antara penyedia dan pengguna jasa konstruksi, atau dengan pihak ketiga. Segala perselisihan yang terjadi akan didorong penyelesaiannya berdasarkan hukum perdata. Bahkan, diharapkan tidak berakhir di pengadilan. (Baca: Pemerintah Desak Pembentukan Dewan Sengketa Jasa Konstruksi)

UU ini mewajibkan penyelidikan yang mendalam oleh ahli, sebelum menyimpulkan penghentian pengerjaan konstruksi. Bahkan, apabila hanya sebatas antara penyedia dan pengguna jasa konstruksi diharapkan dapat membentuk tim khusus untuk menyelesaikan permasalahan secara internal.

Halaman: