Neraca dagang masih bisa mencetak surplus meskipun nilainya kian menciut karena aktivitas impor semakin meningkat. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, neraca dagang pada Maret 2016 mengalami surplus sekitar US$ 497 juta. Pencapaian tersebut didukung oleh nilai ekspor yang terus naik, meskipun aktivitas impor juga mulai meningkat.
Nilai ekspor pada Maret mencapai US$ 11,79 miliar atau meningkat 4,25 persen dibandingkan bulan sebelumnya. Sejak awal tahun ini, nilai ekspor memang terus meningkat, dari US$ 10,48 miliar pada Januari dan US$ 11,31 miliar pada Februari lalu. Meski ekspor secara total periode Januari-Maret mencapai US$ 33,58 miliar, nilainya turun 14 persen dibandingkan periode sama tahun lalu.
Kepala BPS Suryamin menjelaskan penurunan ekspor pada kuartal I ini merupakan imbas dari masih menurunnya ekonomi mitra dagang utama, seperti Cina. Sekadar informasi, ekspor nonmigas ke Cina menurun dari US$ 3,1 miliar menjadi US$ 2,8 miliar. "Jadi walaupun ekspor secara bulanan masih naik tapi secara kumulatif juga masih turun," katanya saat konferensi pers neraca dagang Maret 2016 di kantor BPS, Jakarta, Jumat (15/4).
Peningkatan ekspor Maret disebabkan kenaikan ekspor nonmigas sebesar 3,58 persen menjadi US$ 10,6 miliar dan ekspor migas naik 10,4 persen menjadi US$ 1,2 miliar. Peningkatan terbesar ekspor nonmigas terjadi pada bahan bakar mineral sebesar US$105,9 juta (10,1 persen), sedangkan penurunan terbesar pada perhiasan dan permata sebesar US$ 228,1 juta (23,28 persen). Komoditas lainnya yang mencatat peningkatan nilai ekspor adalah kendaraan dan bagiannya sebesar 21 persen, berbagai produk kimia 29,84 persen, dan mesin atau peralatan listrik 8 persen.
(Baca: Neraca Dagang Maret Bisa Surplus karena Investasi Swasta Lesu)
Di sisi lain, nilai impor pada Maret mencapai US$11,3 miliar atau naik 11,01 persen dibandingkan bulan sebelumnya. Namun dibandingkan Maret 2015 turun 10,41 persen. Secara lebih rinci, impor nonmigas Maret mencapai US$ 9,77 miliar atau naik 7,88 persen dibandingkan bulan sebelumnya. Sedangkan impor migas mencapai US$1,53 miliar atau naik 36,25 persen.
Peningkatan impor nonmigas terbesar pada Maret adalah golongan mesin dan peralatan mekanik US$ 95,8 juta (5,98 persen), sedangkan penurunan terbesar adalah golongan kendaraan dan bagiannya US$ 55,2 miliar (11,12 persen). "Jadi ada kecenderungan manufaktur kendaraan kita telah berjalan sehingga dapat mengurangi impor kendaraan," kata Suryamin.
(Baca: Ekspor Migas dan Perhiasan Menopang Surplus Dagang Februari)
Sedangkan berdasarkan golongan penggunaan barang, golongan barang bahan baku /penolong memberikan peranan terbesar peningkatan impor pada Maret 2016, yaitu 76,34 persen atau senilai US$ 8,62 miliar. Sementara itu, impor barang modal naik 15 persen dan impor barang konsumsi meningkat 8,65 persen.
Apabila dibandingkan periode sama tahun lalu, selama Januari-Maret 2016 niai impor bahan baku/penolong dan barang modal mengalami penurunan masing-masing 15,21 persen dan 18,22 persen. Sebaliknya, impor barang konsumsi meningkat 23,74 persen.
Alhasil, pada Maret lalu, neraca dagang masih bisa surplus US$ 497 juta. Nilainya memang lebih rendah dari bulan sebelumnya yang mencatatkan surplus US$ 1,14 miliar. Sedangkan selama Januari-Maret 2016 mencatatkan surplus dagang US$ 1,64 miliar, lebih rendah dibandingkan periode sama 2015 yang sebesar US$ 2,3 miliar.
(Baca: BPS Prediksi Neraca Dagang Berpotensi Defisit Semester I-2016)
Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Sasmito Hadi Wibowo menjelaskan, surplus Maret mengecil karena terjadi penurunan ekspor ke dua negara besar, yakni India dan Cina. Selain itu, faktor penguatan rupiah yang mempengaruhi nilai ekspor.
Ekonom Bank Permata Josua Pardede memperkirakan neraca dagang tahun ini masih bisa surplus meski secara nilainya mengecil menjadi sekitar US$ 2 miliar. Sebagai perbandingan, surplus neraca dagang sepanjang 2015 mencapai US$ 7,6 miliar. Penyebabnya adalah perlambatan ekonomi Cina tahun ini masih menjadi penghambat ekspor.
Selain itu, Josua memperkirakan belanja modal pemerintah akan mempercepat kenaikan impor. Alhasil, selisih surplus dibandingkan tahun lalu akan menipis. "Ada juga faktor dari one off trend, seperti ekspor perhiasan yang bulan-bulan lalu booming, tapi sekarang menurun," katanya kepada Katadata.