KATADATA - Pembangkit listrik 35 gigawatt (GW), salah satu proyek strategis yang dicanangkan pemerintah Presiden Joko Widodo, nampaknya tidak berjalan lancar. Proyek energi yang mayoritas menggunakan tenaga uap, misalnya, menghadapi beberapa kendala. Satu di antaranya yaitu kekurangan pasokan batu bara seiring kejatuhan harga komoditas ini.
Melihat keadaan tersebut, Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia-Indonesian Coal Mining Association (APBI-ICMA) melakukan studi dengan melibatkan lembaga konsultan PT PricewaterhouseCoopers. Selain terkait pasokan batu bara untuk Pembangkit Listrik Tenaga Uap, studi juga guna mengkaji masalah pendanaan dalam pengembangan program kelistrikan nasional. Pemerintah Harap 3.966 Izin Tambang Bermasalah Tuntas Mei 2016).
President Director Advisory PWC Mirza Diran mengatakan hasil studi lembaganya menghasilkan sebuah kesimpulan. “Dengan mengacu pada harga komoditas saat ini, cadangan batubara nasional tidak cukup untuk memasok kebutuhan 20 GW untuk program kelistrikan 35 GW pada periode 25 - 30 tahun ke depan,” kata Mirza saat acara temu media bersama APBI-ICMI, di Menara Kuningan, Jakarta, Senin, 7 Maret 2016.
Menurutnya, cadangan batu bara terbukti yang dikeluarkan pemerintah sekitar 32,3 miliar ton pada 2014. Namun, hasil survei mengemukakan bahwa cadangan batu bara pada akhir 2015 tinggal 7,3 - 8,3 miliar ton. Perbedaan yang sangat mencolok tersebut tentu menimbulkan pertanyaan. (Baca juga: Pemerintah Usul Pembentukan BUMN Khusus Dalam RUU Minerba).
Ternyata, yang dimaksud cadangan nasional yang akan habis adalah cadangan yang dimiliki oleh perusahaan-perusahaan tambang batu bara yang beroperasi di Indonesia. Dengan harga komoditas terus turun, perusahaan akan menurunkan produksinya. Alhasil, cadangan tambang akan habis pada 2033 - 2036. Hal ini kurang dari 20 tahun umur manfaat PLTU yang umumnya 25 - 30 tahun sejak beroperasi komersial.
Masalah tersebut, kata Mirza, berakar dari rendahnya harga batubara. Akibatnya, Earnings Before Interest, Tax, Depreciation & Amortization (EBITDA) emiten batu bara turun 60 persen dari US$ 6,5 miliar pada 2011 menjadi US$ 2,6 miliar tiga tahun kemudian. Selain itu, belanja modal juga turun 79 persen sejak 2012 dari US$ 1,9 miliar menjadi US$ 0,4 miliar di 2014. Akibatnya, kegiatan eksplorasi untuk menemukan cadangan batubara baru relatif terhenti.
Begitu juga dengan rata-rata rasio nisbah kupas atau stripping ratio menurun menjadi 7,5 kali di 2014, yang menyebabkan pendapatan pemerintah di sektor ini juga berkurang. Penurunan-penurunan tersebut diproyeksikan terus terjadi pada 2016. (Lihat pula: Pembangunan Pembangkit Listrik Batubara Akan Diperketat).
Ketua Umum APBI-ICMA Pandu P. Sjahrir mengungkapkan, hasil studi tersebut juga menemukan masalah lain. “Keterbatasan sumber pendanaan domestik untuk pembiayaan proyek Independent Power Producers (IPP) yang akan meningkatkan risiko dominasi perusahaan asing dalam program kelistrikan nasional 35 GW,” ujarnya. Menyikapi permasalahan tersebut, APBI-ICMA mencoba menawarkan solusi kepada pemerintah.
Pertama, pemerintah diminta menggunakan sistem harga batubara jangka panjang yang tidak terkait dengan indeks harga dunia. Pemerintah perlu merumuskan kebijakan cost-based pricing system untuk batu bara dalam negeri guna keperluan PLTU. Efek dari kebijakan tersebut, pemerintah akan membayar semacam biaya asuransi sekitar satu persen dari tarif dasar listrik. “Kurang lebih Rp 1.400 per kWh jika diterapkan untuk PLTU baru yang akan beroperasi 2019 atau sekitar 3 persen jika termasuk PLTU yang telah dibangun,” ujar Pandu.
Kedua, APBI-ICMA mendorong keterlibatan dana pensiun dan perusahaan asuransi dan lembaga pemerintah lainnya sebagai sumber pendanaan domestik terutama bagi pembangkit listrik. Hal ini akan mempercepat tingkat elektrifikasi Indonesia dan sekaligus memperkuat industri pertambangan batubara Indonesia.