Kinerja industri manufaktur Indonesia mengalami kontraksi mencapai titik terendah sepanjang sejarah. Namun, pemerintah berharap indeks manufaktur kembali meningkat ke level tertinggi tiga bulan setelah pembatasan sosial berskala besar (PSBB) berakhir.
Sejak kasus corona pertama kali diumumkan di Indonesia pada 2 Maret lalu, sejumlah daerah telah menerapkan PSBB untuk menekan potensi penularan virus. DKI Jakarta menjadi daerah pertama yang memberlakukan PSBB mulai 10 April 2020 dan hingga kini telah mengalami tiga kali perpanjangan.
Sementara itu, survei IHS Market mencatat, Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur Indonesia periode April 2020 anjlok tajam ke level 27,5, lebih rendah dibanding Maret yang berada di posisi 45,3.
Anjloknya indeks manufaktur Indonesia April lalu tercatat sebagai yang terendah sepanjang sejarah atau dalam sembilan tahun periode survei. Ini terjadi seiring berkurangnya aktivitas dan output produksi selama pandemi corona serta pemberlakuan PSBB.
Tak hanya itu, kinerja manufaktur Indonesia tercatat terendah di ASEAN, di bawah Myanmar dengan skor indeks sebesar 29,0 dan Singapura 29,3.
(Baca: Sektor Manufaktur Alami Kontraksi, Jokowi Pertimbangkan Stimulus)
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan, pandemi corona telah memengaruhi permintaan konsumsi domestik. Padahal, 70% total produksi industri manufaktur terserap oleh pasar dalam negeri.
Ketika permintaan atau daya beli menurun, maka berdampak besar terhadap produksi barang. Besarnya impor serta pelemahan kurs, juga ikut mengakibatkan output menurun signifikan.
Padahal, jika dilihat sebelum corona masuk Indonesia, PMI Indonesia sempat mencatat skor tertinggi pada Februari 2020 yakni di level 51,9%.
"Kami menargetkan dalam tiga bulan setelah PSBB, PMI manufaktur kembali meningkat ke level 51,9. Pemerintah akan mendorong dengan berbagai macam strategi dan kebijakan agar PMI kembali ke level tertinggi," kata Agus dalam video conference beberapa waktu lalu.
Dengan selesainya PSBB, dia berharap sektor industri bisa kembali beroperasi. Dia pun optimistis industri manufaktur dapat pulih lebih cepat, bahkan dalam kondisi new normal.
(Baca: Imbas Corona, Manufaktur Diramal Terus Lesu sampai Akhir Tahun)
Pihaknya telah memetakan sejumlah sektor industri yang terdampak pandemi corona menjadi tiga kelompok besar, yaitu industri yang suffer, moderate, dan high demand.
Untuk pemulihan sektor ini, perhatian pertama menurutnya akan difokuskan industri kategori high demand. Alasannya, industri yang masuk kategori ini masih memiliki permintaan yang tinggi selama pandemi Covid-19. Adapun industri yang masuk dalam ketegori ini di antaranya yakni farmasi dan alat kesehatan.
Sementara, bagi sektor-sektor yang masuk kategori suffer atau yang terdampak cukup parah pandemi dan kategori moderat, dipastikan menerima stimulus yang pemerintah.
“Kami ingin industri kita bisa cepat rebound pasca-wabah virus corona ini, dengan memberikan berbagai stimulus yang komprehensif sesuai kebutuhan di sektornya,” ujar dia.
Untuk meningkatkan daya saing sektor industri, pemerintah mengimplentasikan Perpres Nomor 40 Tahun 2016 terkait Penetapan Harga Gas Bumi. Untuk memaksimalkan fasilitas ini, pihaknya bakal terus memperbarui atau menambah list penerima harga gas seharga US$ 6 dolar per Million British Thermal Units (MMBTU).
Agus juga mengungkapkan, dua masalah lain yang dihadapi sektor manufaktur akibat pandemi yaitu terkait arus kas (cash flow) serta kebutuhan modal kerja. Untuk mengatasi masalah cashflow, solusi yang diberikan pemerintah antara lain dengan memberikan fasilitas restrukturisasi kredit.
“Hampir semua perusahaan perlu dapat restrukturisasi kredit, bukan hanya sektor UMKM,” ujar Agus.
Sedangkan modal kerja sangat dibutuhkan untuk memulai kembali aktivitas industri ketika kondisi kembali normal. Sehingga, diperlukan upaya untuk kembali mendorong investasi.
Di luar itu, perlu juga dilakukan rangsangan bagi industri untuk memacu kinerja ekspor dan pemenuhan kebutuhan bahan baku. Namun, untuk memulihkan kinerja industri dan mencapai target PMI, diperlukan kerja sama antarkementerian maupun dengan pelaku usaha.
(Baca: Kemenperin akan Genjot Industri Produk Permintaan Tinggi Masa Pandemi)
Ketua Umum Apindo Hariyadi B. Sukamdani mendukung upaya pemerintah dalam menekan dampak pandemi terhadap sektor usaha. Sebab, jumlah pelaku usaha di sektor ini cukup besar serta perannya terhadap pendapatan domestik bruto (PDB).
Terkait Surat Edaran Menteri Perindustrian No 4 Tahun 2020 terkait kegiatan produksi di masa kedaruratan kesehatan yang diterbitkan pemerintah diharapkan dapat efektif menjaga aktivitas sektor industri. Meski protokol kesehatan juga tak boleh diabaikan.
Kemenperin mencatat, hingga saat ini sudah ada 17.109 Izin Operasional dan Mobilitas Kegiatan Industri (IOMKI) yang diterbitkan di tengah pandemi Covid-19. Meski angka rill industri yang beroperasi diklaim hanya sekitar 8.000 perusahaan.
“Kami juga berharap surat Kementerian trekait keringanan pembayaran listrik ke PLN bisa direspons cepat. Sebab, banyak anggota kami masih harus bayar minimum charge, padahal pabrik sedang tutup atau penurunan kapasitas,” ujar Hariyadi.
Untuk membangkitkan kembali kegiatan ekonomi yang sangat terdampak pandemi corona, pengusaha pun mengusulkan pembentukan gugus tugas. Secara khusus, dia juga meminta agar mampu menciptakan momentum untuk mendorong konsumsi masyarakat untuk meningkatkan penjualan, khususnya bagi produk makanan dan minuman.