Imbas Corona, Manufaktur Diramal Terus Lesu sampai Akhir Tahun
Pandemi corona berpotensi menyebabkan aktivitas industri manufaktur atau yang digambarkan dalam purchasing managers index (PMI) manufaktur diperkirakan terus menurun hingga akhir tahun. Terlebih di saat wabah corona belum bisa dipastiakan kapan berakhir, sehinga makin banyak pabrik tak bisa beroperasi.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengatakan, penurunan indeks manufaktur dipengaruhi oleh beberapa faktor. Pertama, pembatasan sosial berskala besar (PSBB), sulitnya mendapatkan bahan baku dari negara lain dan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS).
Kondisi ini diperparah lantaran pemberian stimulus yang diberikan pemerintah belum berlaku efektif. "Kalau diperkirakan pandemi selesai September 2020 mungkin butuh waktu sampai bulan November - Desember untuk pemulihan, itu juga masih berat untuk mencapai PMI di atas 50%," kata Bhima kepada katadata.co.id, Rabu (6/5).
(Baca: Imbas PSBB, Produksi Manufaktur Turun Tajam Sepanjang Sejarah)
Menurutnya, untuk meningkatkan PMI manufaktur diperlukan beberapa kebijakan seperti menurunkan tarif listrik bagi industri padat karya, menurunkan harga gas industri hingga US$ 3 per million british thermal unit (MMBTU) dan penurunan harga minyak. Sebab, dengan melemahnya PMI manufaktur akan berdampak pada pelambatan pertumbuhan ekonomi lantaran sektor ini menyumbangkan 20% terhadap produk domestik bruto (PDB).
Dari sisi lapangan kerja, minimnya PMI manufaktur menjadi ancaman datangnya badai pemutusan hubungan kerja (PHK) pada semester II tahun ini. Oleh sebab itu, diperlukan jaring pengaman sosial yang lebih besar dan tepat sasaran.
"Ini yang harus diantisipasi karena sekarang jaring pengaman sosial sangat kecil dan kartu prakerja juga belum efektif. Jadi bagaimana pemerintah harus memberi stimulus khusus korban PHK industri manufaktur," kata dia.
Sementara itu, Wakil Ketua Umum Bidang Hubungan Internasional Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Shinta Kamdani menjelaskan kondisi pelemahan PMI dipengaruhi oleh dua faktor, yakni pelemahan pasar yang sudah terjadi sejak bulan lalu dan faktor regulasi.
(Baca: Terdampak PSBB, Lebih dari 24 Ribu Perusahaan Tak Bisa Beroperasi)
Saat ini tekanan terbesar pada PMI adalah regulasi terkait pengendalian wabah, khususnya PSBB di berbagai wilayah di Indonesia.
Pasalnya, sebagian besar sentra produksi manufaktur nasional berada di zona merah penyebaran virus yang membutuhkan jalur distribsi yang baik tidak hanya ke pelabuhan tetapi juga ke berbagai daerah di Indonesia untuk distribusi produk.
"Kalau itu terganggu secara langsung maupun tidak langsung oleh aturan terkait pengendalian wabah, PMI tidak akan naik dan akan semakin turun," kata Shinta.
Sektor yang Bertahan
Di sisi lain, Bhima juga memperkirakan industri farmasi serta makanan dan minuman diperkirakan masih akan menunjukkan tren positif di tengah kontraksi permintaan atau purchasing managers index (PMI) manufaktur. Pasalnya, kedua industri tersebut merupakan sektor-sektor kebutuhan dasar sehingga permintaan masih akan tetap stabil.
Hampir semua sektor industri manufaktur saat ini mengalami tekanan hebat. Kondisi ini diperkirakan akan terus terjadi hingga akhir tahun 2020.
"Hanya dua sektor industri yang menurut saya masih stabil yaitu industri alat kesehatan atau farmasi dan obat-obatan kemudian di sektor makanan dan minuman. Sisanya hampir semua mengalami tekanan," ujarnya.
Adapun hasil survei IHS Market sebelumnya mencatat, PMI manufaktur Indonesia periode April anjlok tajam ke level 27,5, lebih rendah dibanding Maret yang berada di posisi 45,3.
Anjloknya indeks manufaktur Indonesia sepanjang April lalu tercatat sebagai yang terendah sepanjang sejarah atau dalam sembilan tahun periode survei April 2011. Tak hanya itu, kinerja manufaktur Indonesia tercatat terendah di ASEAN, di bawah Myanmar dengan skor indeks sebesar 29,0 dan Singapura sebesar 29,3.