PT Industri Jamu dan Farmasi Sido Muncul Tbk (SIDO) berencana melakukan stock split dengan rasio 1:2. Rencana tersebut sudah mendapat persetujuan pemegang saham melalui Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) yang diadakan pada 27 Agustus 2020.
“Kita pecah dari satu menjadi dua, dari 15 miliar (jumlah saham yang beredar) menjadi 30 miliar,” kata Direktur Keuangan Sido Muncul Leonard dalam paparan publik perseroan, Kamis (27/8/2020) lalu.
Tujuan dari stock split ini adalah untuk menarik lebih banyak investor masuk ke saham SIDO. Stock split juga dilakukan untuk menaikkan likuiditas saham SIDO. Stock split akan berdampak pada harga dan juga kepemilikan, tanpa mengubah nilai saham.
Nantinya harga saham akan terbagi sesuai dengan rasio yang ditetapkan. Sebagai contoh, Anda memiliki saham SIDO di harga Rp 1.470 dengan kepemilikan 100 lot atau 10.000 saham. Maka harga saham setelah stock split akan menjadi setengah dari harga saat ini, atau sebesar Rp 735. Sementara kepemilikan Anda naik jadi dua kali lipat, jadi 20.000 saham atau 20 lot.
Lalu, bagaimana prospek saham SIDO? Pendiri Ellen May Institute dan Analis Ellen May merekomendasikan saham SIDO sebagai investasi jangka panjang. Sebab, perusahaan memiliki kinerja yang baik.
"Hal dilihat dari pendapatannya yang stabil dan juga pertumbuhan laba yang konsisten dari tahun ke tahun, termasuk saat pandemi," ujarnya, Senin (31/8).
Kinerja Sido Muncul
Secara umum kinerja SIDO memang masih cukup positif karena mengalami pertumbuhan pendapatan pada semester I 2020 sebesar 3,5% year on year (yoy) dibandingkan dengan semester I 2019 menjadi Rp 1,46 triliun.
Capaian ini didukung segmen makanan dan minuman yang mengalami kenaikan 16,3%. Selain itu, segmen farmasi juga mengalami peningkatan 6%. Sedangkan, produk jamu herbal dan suplemen turun 2,11%.
Laba SIDO juga masih tumbuh 10.6% menjadi Rp 413 miliar sepanjang semester pertama lalu. Perusahaan mampu menekan beban umum dan administrasi sebesar 13,63% menjadi Rp91 miliar dibandingkan semester I 2019.
Hal itu membuat laba operasi perusahaan meningkat menjadi 34% dari tahun sebelumnya sebesar 33%. Di sisi lain, margin laba bersih SIDO sebesar 28% naik dari tahun sebelumnya sebesar 27%.
Di samping itu, SIDO juga mampu menjaga profit marginnya di atas 20%, dan terus bertumbuh. Sementara, rasio utang terhadap ekuitas dan aset juga dinilai baik karena masih dibawah 1.
Utang SIDO kuartal II 2020 sebesar Rp 366 miliar yang terbagi menjadi utang jangka pendek Rp 306 miliar dan utang jangka panjang Rp 60 miliar. Dalam laporan keuangan disebutkan, terjadi penurunan utang sebesar 16.6% karena penurunan utang pajak yang signifikan sebesar 48,3% menjadi Rp 57 miliar.
Dalam hal trading, Ellen menyebut SIDO sudah break out dari sideways panjangnya sejak bulan April. Break out terjadi pada tanggal 5 Agustus disertai dengan peningkatan volume yang besar.
“Kami mereferensikan SIDO untuk investasi jangka panjang. Hal ini karena kami melihat SIDO memiliki profitabilitas yang baik, dilihat dari pendapatannya yang stabil dan juga pertumbuhan laba yang konsisten dari tahun ke tahun,” kata Ellen.
Kebal Pandemi
Analis Kresna Sekuritas Robertus Hardy mengatakan, SIDO sebenarnya memiliki portofolio produk yang kesehatan yang beragam dan paling diminati konsumen. Sekuritas pun tak ragu merekomendasikan saham produsen Tolak Angin ini.
“Kami berpandangan bahwa model bisnis perusahaan merupakan salah satu dari sedikit perusahaan yang bisa mempertahankan profitabilitas yang stabil di tengah pandemi corona,” tulisnya dalam laporan risetnya.
Kresna Sekuritas memproyeksikan pendapatan dan laba bersih Sido Muncul tahun ini bisa mencapai masing-masing Rp 3,11 triliun dan Rp 826 miliar. Proyeksi tersebut menjadi dasar bagi sekuritas yang untuk mempertahankan rekomendasi beli.
Memasuki 2020, perdagangan saham SIDO dibuka di level Rp 1.280. Sempat merosot hingga Rp 940 per unit, saham Sido Muncul dengan cepat bangkit, bahkan menarik investor asing. Harganya kini mencapai Rp 1.400.
Nilai wajar kapitalisasi pasar SIDO ditaksir sebesar Rp 22,65 triliun atau Rp 1.510 per saham dengan potensi kenaikan 22% .Target harga tersebut juga mempertimbangkan price-to-earning ratio (PER) dan price-to-book value (PBV) 27,4 dan 25,9x pada tahun 2020 serta 7,3 dan 7,1x pada tahun 2021.
Target harga terbaru tersebut lebih tinggi dari perkirakan sekuritas sebelumnya yakni Rp1.420 karena revisi proyeksi PER dan PBV pada tahun 2020 dan 2021 yang lebih rendah.