Kelangkaan kontainer menjadi salah satu tantangan yang harus dihadapi sektor manufaktur di tengah tren pemulihan sektor tersebut. Jika tidak segera di atasi, kelangkaan kontainer bahkan dikhawatirkan bisa menghambat kinerja sektor manfukatur sekaligus menekan ekspor Indonesia.
Ketua Umum Asosiasi Logistik Indonesia (ALI) Mahendra Rianto mengatakan, kelangkaan kontainer dipicu oleh kebijakan lockdown yang diterapkan banyak negara terutama negara tujuan ekspor. Arus pergerakan kontainer mengalami penurunan bahkan terhenti karena banyak kontainer yang menumpuk di negara tujuan dan tidak bisa kembali karena tidak ada produk yang dibawa.
Negara-negara produsen dari Asia seperti Cina, Jepang dan Korea Selatan mengirim produk untuk diekspor ke berbagai negara seperti di Amerika Serikat, Eropa, dan Australia. Begitu sampai di negara tujuan, arus kontainer terhenti atau berjalan lamban karena tidak banyak produk yang bisa kembali diangkut ke negara asal.
“Sehingga terjadi ketidakseimbangan volume kontainer, sementara kapal itu kalau mau bergerak harus ada muatan kan, kalau nggak ya tidak ada yang bayar,” kata Mahendra kepada Katadata, Kamis (2/9).
Berkurangnya lalu lintas kontainer menyebabkan turunnya jumlah kapal yang beredar di lautan dan juga di hub perdagangan seperti Singapura, Tanjung Pelepas, Cina dan Korea Selatan. Kekurangan jumlah kapal besar di hub tersebut juga menyebabkan barang dari Indonesia tidak bisa diekspor karena tidak ada pergerakan kontainer masuk ke Indonesia.
“Kalaupun kita bisa ekspor pasti terhenti di Singapura. terhambat karena untuk connecting ke negara tujuan ekspor masih harus menunggu sekitar satu sampai dua minggu,” kata dia.
Kondisi tersebut membuat adanya ketidakseimbangan antara suplai dan permintaan di negara-negara eksportir maupun importir. Menyusul tingginya permintaan daripada suplai yang ada, maka kenaikan tarif kontainer pun tidak bisa dihindari.
Ia menjelaskan, sampai saat ini tidak ada aturan kenaikan harga maksimum sewa kontainer dari tarif dasar. Ia mencontohkan, harga sewa per kontainer menuju Australia dari US$ 1.200 (Rp 17,3 juta) menjadi US$ 5.000 (Rp 72 juta), untuk tujuan Eropa dari US$ 2.000 (Rp 28,8 juta) menjadi US$ 16.000 (Rp230,4 juta). Sementara itu, untuk tujuan ke Amerika dari US$ 3.000 (Rp43,2 juta) menjadi US$ 20.000 (Rp 288 juta) per kontainer.
“Karena kelangkaan kontainer, suplai dan demand jadi tidak seimbang, maka harga jadi naik karena dilepas kepada mekanisme pasar,” katanya. Baca Juga
Kondisi ini hanya terjadi pada ekspor-impor dari produk-produk yang memakai kontainer. Untuk komoditas yang banyak diekspor dari Indonesia seperti batubara, mineral, kelapa sawit (CPO) relatif tak terkendala karena diangkut menggunakan armada yang berbeda.
"Kalau barang yang cair dan curah seperti batubara, CPO, crude oil, itu kan pakai kapal-kapal charter. Jadi kalau mau angkut ya tinggal charter kapal aja,” ujarnya.
Ia mengharapkan ada koordinasi yang baik antara shipping line di Indonesia, Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perhubungan untuk turun tangan membantu mengatasi masalah kelangkaan kontainer. Dia juga meminta pemerintah membuka jalur kontainer agar bisa menyalurkan produk ekspor Indonesia ke negara transit, seperti Singapura.
Seperti diketahui, Purchasing Managers’ Index (PMI) Manufaktur Indonesia berada di level 43,7 di bulan Agustus. Angka ini belum mencerminkan level ekspansif tetapi setidaknya sudah menunjukan perbaikan dibandingkan pada bulan Juli yakni 40,1.
IHS Markit dalam laporannya mengatakan penambahan kasus Covid-19 di Agustus telah membebani sektor manufaktur selama dua bulan berturut-turut. Gangguan produksi membuat penumpukan pekerjaan dan menyebabkan tekanan harga.
Industri manufaktur tumbuh sebesar 6,58% secara tahunan (year on year) pada kuartal II tahun 2021. Ini merupakan perbaikan yang sangat signifikan mengingat sektor ini terkontraksi sejak kuartal II tahun 2020. Secara historis, industri pengolahan tumbuh sekitar 4-5% dalam periode 2017-2019.
Ekspor manufaktur juga mulai menggeliat setelah loyo karena pandemi Covid-19. Ekspor manufaktur mencapai US$ 81,07 miliar pada semester I tahun 2021, atau meningkat 33,45% dari yang sama tahun sebelumnya.
Kendati berpengaruh besar di perdagangan internasional, kelangkaan dan kenaikan tarif kontainer tidak berdampak terhadap pergerakan kontainer domestik. Pasalnya, kondisi arus barang di Indonesia sejak dulu masih sama, yakni terpusat di Jawa.
Sebaliknya, belum ada industri yang signifikan untuk mendatangkan produk ke Jawa. Hal ini, menurutnya, juga menyebabkan ketidakseimbangan antara suplai dan demand.
“Jadi dari dulu memang ongkosnya mahal kalau arus domestik ini, karena pulang dari tempat tujuan tidak ada barang yang diangkut lagi,” kata dia.