Toyota dan Honda Tolak Wacana Insentif Pajak Kendaraan Listrik AS

Toyota Astra Motor
PT Toyota Astra Motor meluncurkan dua mobil listrik di Nusa Dua, Bali, Toyota COMS untuk satu penumpang (pengendara), dan Toyota C+Pod untuk dua penumpang.
13/9/2021, 08.30 WIB

Dua pabrikan mobil asal Jepang, Toyota Motor Corp dan Honda Motor Co. mengkritisi proposal yang diajukan oleh Partai Demokrat di Dewan  Perwakilan Rakyat Amerika Serikat (AS) yang akan memberikan insentif pajak tambahan senilai US$ 4.500 atau sekitar  Rp 64 juta untuk kendaraan listrik yang dirakit serikat pekerja di AS.

Dilansir dari Reuters, Toyota mengatakan rencana tersebut merupakan diskriminasi terhadap pekerja mobil AS atas pilihan mereka untuk bergabung atau tidak dengan serikat pekerja.

Rencana  penambahan insentif merupakan bagian dari RUU  anggaran belanja AS yang akan dibahas pada Selasa (21/9) dengan pengeluaran mencapai US$ 3,5 triliun. Kebijakan tersebut dinilai akan menguntungkan produsen tiga besar produsen mobil di Detroit karena memiliki pabrik mobil yang diwakili serikat pekerja.

 Sementara itu, Honda merasa aturan tersebut tidak adil. Perwakilan perusahaan mengatakan, aturan itu mendiskriminasi kendaraan listrik yang dibuat para pekerja di AS karena kebijakan hanya didasarkan pad apakah para pekerja tergabung dalam serikat pekerja atau tidak. Padahal, semua pekerja berhak mendapat perlakuan yang sama karena kerja kerasnya.

"Rekan pekerja kami di Alabama,Indiana, dan Ohio yang akan membuat kendaraan listrik kami pun layak mendapatkan perlakuan yang adil serta setara dari Kongres," ungkap perwakilan perusahaan, dikutip dari Reuters, Senin (13/9).

RUU itu diperkirakan akan menelan biaya senilai US$ 33 hingga US$ 34 miliar selama 10 tahun dan bisa meningkatkan kredit pajak maksimum hingga US$ 12.500 untuk kendaraan listrik.

Nilai itu naik dari angka sebelumnya yaitu US$ 7.500, nilai US$ 12.500 itu sudah termasuk insentif senilai US$ 500 karena menggunakan baterai yang diproduksi di AS.

RUU itu merupakan bagian penting misi Presiden Joe Biden yang semula bertujuan untuk memastikan penjualan kendaraan listrik mencapai 50% dari total kendaraan yang dijual pada 2030. Juga, bisa meningkatkan kesempatan kerja bagi serikat pekerja di Negeri Paman Sam tersebut.

Selain insentif,  RUU tersebut juga akan menghapus kredit pajak bagi produsen mobil setelah mereka menjual 200.000 kendaraan listrik. Dengan aturan tersebut maka General Motors Co dan Tesla Inc bisa memenuhi persyaratan itu kembali.  

 RUU tersebut juga turut menciptakan kredit baru yang lebih kecil untuk kendaraan listrik bekas hingga US$ 2.500.

Tiga besar prodsen mobil listrik  di AS yaitu GM, Ford Motor Co, dan Stellantis NV yang merupakan bagian dari Chrysler diyakini akan diuntungkan aturan dalam RUU karena mereka diwakili oleh serikat pekerja United Auto Workers (UAW).

Sementara itu, pembuat mobil asing yang beroperasi di AS termasuk Tesla yang tidak memiliki serikat pekerja. Banyak dari mereka yang menentang UAW untuk bisa menjalankan pabrik di Amerika Serikat.

 Presiden UAW Ray Curry mengatakan, pemberian kredit pajak akan sangat membantu dalam mendukung  serikat pekerja yang membayar dengan baik di sektor mobil listrik yang telah diperjuangkan oleh Presiden Biden.

RUU tersebut akan membatasi kredit mobil listrik untuk mobil dengan harga tidak lebih dari US$ 55.000, sementara truk dapat dihargai hingga US$ 74.000.

Sementara itu, Toyota yang termasuk sebagai perusahaan non-Amerika Serikat terus berupaya agar insentif tersebut juga bisa didapatkan oleh para pekerja mereka.

"Kami akan berjuang untuk memfokuskan uang pembayaran pajar untuk membuat kendaraan listrik dapat diakses oleh konsumen Amerika yang tidak mampu membeli mobil dan truk dengan harga yang tinggi," ujar perwakilan Toyota.

Di sisi lain, Toyota Motor Corp memangkas proyeksi produksi mobilnya sekitar 3% atau 300.000 kendaraan pada tahun ini. Penurunan produksi disebabkan penyebaran Covid-19 di Asia Tenggara yang telah mengganggu akses ke semikonduktor dan suku cadang penting lainnya.

Produsen mobil asal Jepang ini memperkirakan akan memproduksi 9 juta kendaraan hingga Maret 2022, turun dari proyeksi sebelumnya yang mencapai 9,3 juta kendaraan. Namun, perusahaan tetap optimis bisa mencetak laba operasi sebesar  2,5 triliun yen atau sekitar Rp 325 trilun tahun ini, dengan mempertimbangkan potensi adanya pengurangan biaya.

Toyota juga mengatakan, pemangkasan produksi terjadi pada bulan lalu akibat kekurangan cip dan suku cadang di beberapa negara manufaktur di Asia Tenggara seperti Malaysia dan Vietnam.

“Covid terus berdampak pada pemasok di Asia Tenggara. Meskipun pembuat mobil juga terkena dampak kekurangan semikonduktor di seluruh industri, penyebaran Covid adalah alasan luar biasa untuk memangkas produksi,” kata Chief Purchasing Group Officer Toyota Kazunari Kumakura, dikutip dari Bloomberg, Senin (13/9).

Reporter: Cahya Puteri Abdi Rabbi