Ada Minyak Goreng Satu Harga, Produksi Migor Premium Diprediksi Turun

ANTARA FOTO/Arif Firmansyah/rwa.
Warga antre membeli minyak goreng saat operasi pasar murah di Teras Surken, Kelurahan Babakan Pasar, Kota Bogor, Jawa Barat, Rabu (19/1/2022).
Penulis: Andi M. Arief
Editor: Maesaroh
19/1/2022, 15.12 WIB

Kebijakan minyak goreng (migor) satu harga berpotensi menimbulkan masalah baru, yakni perpindahan  konsumsi masyarakat dari minyak goreng  kemasan sederhana ke kemasan premium.

Namun, Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga mengatakan migrasi konsumsi masyarakat dari minyak goreng kemasan ke premium  tidak akan terjadi. 

Pasalnya, biaya produksi minyak goreng kemasan premium lebih tinggi dari  kemasan sederhana.
Di sisi lain, subsidi yang disiapkan pemerintah tidak membedakan jenis kemasan minyak goreng.

Hal tersebut akan membuat produsen minyak goreng  memilih untuk memproduksi minyak goreng kemasan sederhana daripada kemasan premium dalam waktu dekat.

Pada saat yang sama, produsen minyak goreng kemasan sederhana akan meningkatkan kapasitas produksinya. 

Dengan demikian, jumlah minyak goreng kemasan premium di pasar akan lebih sedikit dibandingkan kemasan sederhana.

"Ada selisih Rp 5.000, sedangkan yang mungkin dikasihkan (pemerintah) ke (produsen migor) kemasan hanya Rp 3.600. Jadi, mereka (produsen migor kemasan premium) suffer sedikit (saat ini)," kata Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga kepada Katadata, Rabu (19/1). 

Sahat mengatakan kebijakan satu harga merupakan langkah yang tepat untuk menurunkan harga minyak goreng di dalam negeri.

Selain membuat harga minyak goreng lebih terjangkau, kebijakan tersebut akan meningkatkan pasokan minyak sawit di dalam negeri.

Ketersediaan bahan baku berupa minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) dan refined deoderized and bleached olein (RDBO) akan tinggi dengan adanya kewajiban kontribusi pasokan minyak goreng ke dalam negeri sebagai syarat ekspor. 

Sebagai informasi, Kementerian Perdagangan (Kemendag) mewajibkan seluruh industri minyak sawit mentah (CPO) dan olein untuk menjual sebagian hasil produksinya dalam bentuk minyak goreng  ke dalam negeri.

Hal ini menjadi salah satu syarat bagi industri untuk melakukan ekspor.

Sahat menilai volume minyak goreng yang tercantum dalam kebijakan Migor Satu Harga juga terbilang kecil.

Sebagai informasi, jumlah minyak goreng bersubsidi seharga Rp 14 ribu yang akan digelontorkan ke masyarakat adalah sebanyak 250 juta liter per bulan atau 1,5 miliar liter selama 6 bulan. 

"1,5 miliar liter itu kira-kira (setara dengan) 1,3 juta ton. Produksi (CPO) kita 47 juta ton," ucap Sahat. 

Sahat menekankan aspek pengawasan dalam pelaksanaan program ini. 

Dia menilai oknum peritel dapat menambah harga minyak goreng  di pasar lantaran ada potensi pembelian besar oleh banyak konsumen. Pemberian sanksi yang tegas menjadi kunci untuk menyukseskan program ini. 

"(Oknum peritel) beli kemasan sederhana Rp 14 ribu, lalu jual Rp 17 ribu. Itu yang kadang Kemendag tidak begitu aware. Disparitas harga bisa membuat penyelundup tergiur," kata Sahat. 

 Sejauh ini, ada 34 produsen minyak goreng kemasan yang dapat memenuhi kebutuhan program minyak goreng bersubsidi. 

Pemerintah sendiri telah menetapkan perhitungan subsidi yang harus dibayar kepada produsen yang ikut dalam program minyak goreng bersubsidi.

Berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No.1 Tahun 2022, cara perhitungan subsidi adalah dengan membayar selisih antara nilai keekonomian setiap daerah dengan harga eceran tertinggi (HET) migor di setiap daerah.

Nilai keekonomian ini akan berlaku bagi seluruh produsen, baik minyak goreng  kemasan sederhana maupun minyak goreng kemasan premium. 

Sebagai informasi, HET minyak goreng saat ini ada di rentang Rp 11 ribu per liter hingga Rp 13 ribu per liter tergantung kemasan. Sementara itu, nilai keekonomian akan berubah dan ditetapkan setiap bulan. 

Untuk Januari 2022, pemerintah belum menetapkan nilai keekonomian yang dimaksud.

Pemerintah melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit ( BPDPKS ) telah menyiapkan anggaran hingga Rp 7,6 triliun untuk membayar selisih antara nilai keekonomian dan HET dalam program Minyak Goreng Satu Harga.

Reporter: Andi M. Arief