Kebijakan Presiden Joko Widodo melarang ekspor minyak sawit mentah (CPO) dan sebagian turunannya dinilai tidak tepat sasaran dalam mengatasi kenaikan harga dan kelangkaan minyak goreng di dalam negeri. Larangan ekspor CPO tersebut bahkan bisa menimbulkan masalah baru yang merusak rantai pasok industri sawit, terutama sektor hulu.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Mohammad Faisal mengatakan, kebijakan larangan ekspor CPO sejak awal memang tidak efektif. Menurut dia, akar permasalahan dari kelangkaan dan tingginya harga minyak goreng di dalam negeri adalah distribusi, bukan pasokan.
“Masalahnya bukan di suplai, sejak awal suplai itu ada. Masalahnya ada di distrubusi dari produsen ke konsumen, ini yang belum terpecahkan hingga sekarang,” ujar Faisal kepada Katadata.co.id, Rabu (18/5).
Faisal mengatakan, larangan ekspor CPO malah menimbulkan masalah baru yaitu tidak terserapnya produksi tandan buah segar (TBS) petani sawit. Hal itu karena sebagian besar produksi CPO Indonesia disalurkan ke luar negeri. Dengan demikian, larangan ekspor minyak goreng membuat tangka penyimpanan CPO menjadi penuh.
“Ketika Sudah ada larangan ekspor kemudian keuntungan perusahaan kelapa sawit jauh berkurang, maka berdampak ke petani, dimana pembelian TBS ditekan untuk mengatasi masalah profit perusahaan,” ujarnya.
Faisal mengatakan, perusahaan kelapa sawit mengalami penurunan keuntungan akibat larangan ekspor tersebut. Namun mereka juga tidak rugi. Kerugian terbesar justru dirasakan oleh petani sawit.
“Di Sumatera sekarang sudah ada TBS yang harganya di bawah Rp 1000 per kg, jauh di bawah harga normal sekitar Rp 3000-an,” ujar dia.
Menurut Faisal, pemerintah sejak awal tidak memiliki pemahaman komprehensif dari rantasi pasok (supply chain) sawit. Hal ini terlihat dari dampak kebijakan larangan eskpor CPO kepada petani sawit yang tidak diantisipasi.
“Kebijakan harus diakhiri, jika diteruskan saya rasa bisa kolaps, terutama di hulu,” ujarnya.
Petani Setop Panen
Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Gulat Manurung mengatakan, harga yang anjlok menyebabkan petani terpaksa setop memanen TBS karena tidak menguntungkan.
"Sekarang sudah tidak ada lagi memanen (TBS) karena tidak ada harganya. Upah panen Rp 1.000 (per kilogram/Kg), harga jual cuma Rp 1.400 per Kg, tekor kami Rp 600 per Kg (kalau panen)," kata Gulat, Selasa (17/5).
Gulat menyampaikan, penghentian proses panen berbahaya karena bisa menurunkan tingkat produktivitas petani sawit. Jika tidak dipanen, tanaman kelapa sawit akan mengeluarkan hormon yang mengganggu produktivitas berikutnya dalam jangka waktu yang panjang.
"Sejauh ini, volume TBS yang tidak dipanen mencapai 6,58 juta ton, " ujarnya.
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menyatakan tangki penampung minyak sawit mentah (CPO) beberapa perusahaan kelapa sawit (PKS) mulai penuh. Jika larangan ekspor CPO tidak dicabut, perusahaan kelapa sawit diramalkan akan berhenti membeli tandan buah segar (TBS) produksi petani secara total pada pertengahan Juni 2022.
Sekretaris Jenderal Gapki Eddi Martono mengatakan, tingkat keterisian tangki penyimpanan CPO milik PKS diperkirakan mencapai 50% pada akhir Mei 2022. Saat ini, perusahaan kelapa sawit sudah mengurangi pembelian TBS milik petani.
"Sudah ada indikasi bahwa perusahaan perkebunan mulai kesulitan menjual CPO (saat ini)," kata Eddi kepada Katadata.co.id, Selasa (17/5).
Eddi menyebutkan, penuhnya tangki penyimpanan CPO akan mengakibatkan petani sawit menghentikan panen TBS. Saat ini, perusahaan kelapa sawit memprioritaskan pembelian TBS dari petani mitra. Namun, petani sawit mitra hanya berjumlah sekitar 7% dari total petani sawit di dalam negeri.
Selain itu, Eddi menyampaikan, perusahaan PKS telah kesulitan menjual CPO. Hal ini terlihat dari banyaknya gagal tender (withdrawal) CPO pada pekan lalu.
"PKS sudah sulit jual CPO, akibatnya pembelian TBS diutamakan yang bermitra terlebih dahulu. Kalau kondisi normal, tidak ada komplain dari petani swadaya," kata Eddi.
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) mencatat produksi minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) Indonesia pada 2021 sebesar 46,88 juta ton. Angka tersebut turun 0,31% dari capaian 2020 yang sebesar 47,03 juta ton.