Genjot Ekspor CPO, Mendag Bakal Cabut Wajib Setor DMO Minyak Goreng

ANTARA FOTO/Rony Muharrman/tom.
Petugas dari PT Pekebunan Nusantara V menuangkan minyak goreng curah ke dalam jeriken milik warga yang membeli minyak goreng murah di Pekanbaru, Riau, Rabu (13/7/2022).
Penulis: Andi M. Arief
Editor: Yuliawati
22/7/2022, 16.31 WIB

Kementerian Perdagangan (Kemendag) mempertimbangkan untuk melonggarkan aturan kewajiban pasar domestik (DMO) minyak goreng dan kewajiban harga domestik (DPO). Tujuan utama dari pelonggaran aturan untuk menggenjot adalah ekspor crude palm oil atau CPO yang akan berdampak pada kenaikan harga tandan buah segar (TBS) sawit milik petani.

Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan mengatakan akan bertemu dengan pelaku industri minyak goreng nasional. Dalam pertemuan tersebut, agenda yang akan dibahas adalah jaminan bahwa pasokan minyak goreng untuk dalam negeri sebanyak tiga juta ton per tahun dapat dipenuhi oleh para pelaku industri.

"Urusan minyak goreng, urusan dagang sehari-hari memang tidak mudah dibirokrasikan. Oleh karena itu, gentlement agreement saja cukup sebenarnya, (tapi) perlu jaminan untuk dalam negeri ya tiga juta (ton per tahun) itu (terpenuhi)," kata Zulkifli di pasar Cibinong, Jumat (22/7).

Zulkifli mencatat volume CPO di tangki penyimpanan mendekati kapasitas maksimum atau mencapai 7 juta ton. Tangki yang penuh ini menjadi penyebab turunnya harga TBS sawit. 

Dia menimbang memperlonggar aturan wajib setor minyak goreng dan DPO, asalkan tak ada kelangkaan minyak goreng seperti masa mantan Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi.  

"Saya pertimbangkan DMO dan DPO tidak perlu lagi agar ekspornya lebih cepat. Kalau (pelaku industri minyak goreng) jamin tidak terulang lagi yang lalu, langka (minyak goreng dalam negeri), kami pertimbangkan DMO kami relaksasi sementara," kata Zulkifli.

Zulkifli mengatakan telah mendapatkan arahan untuk meningkatkan harga TBS sawit lebih dari Rp 2.000 per kilogram (Kg). Asosiasi Petani Kelapa Sawit (Apkasindo) mendata rata-rata harga TBS dari kebun petani swadaya baru mencapai Rp 1.350 per 20 Juli 2022, sedangkan dari kebun petani bermitra senilai Rp 1.495.

Harga TBS konsisten tumbuh dan langsung menembus level Rp 1.000 per kilogram setelah pemerintah meniadakan pungutan ekspor senilai US$ 200 per ton oleh Kementerian Keuangan hingga 31 Agustus 2021.

Selain penghapusan PE, Zulkifli mengatakan Kemendag telah menaikkan koefisien saldo Persetujuan Ekspor (PE) CPO dari 1:7 menjadi 1:8,4. Simulasinya, jika eksportir A telah menyalurkan minyak goreng hasil DMO sebanyak 1.000 ton, saldo PE CPO yang didapatkan eksportir A adalah 8.400 ton.

Terakhir, Kemendag juga memangkas waktu perhitungan harga referensi CPO yang diterbitkan oleh Kemendag dari empat minggu menjadi dua minggu. Dengan demikian, harga referensi akan lebih fleksibel mengikuti dinamika pasar internasional.

Harga referensi CPO Kemendag adalah hasil dari campuran rata-rata harga angkut CPO sampai pelabuhan (CIF) di Rotterdam, Malaysia, dan Indonesia. Bobot masing-masing harga ketiga wilayah tersebut adalah Indonesia sebesar 60%, sedangkan Rotterdam dan Malaysia masing-masing 20%.

Apa yang disampaikan Zulkifli ini senada dengan keinginan pengusaha. Sebelumnya, Ketua Umum Apkasindo, Gulat Manurung, mengatakan bahwa penerapan kebijakan DMO dan DPO sudah tidak relevan. Gulat menilai kondisi industri CPO domestik sudah tidak seperti pada April-Juni yang membutuhkan aturan DMO dan DPO.

Menurutnya, kecepatan ekspor CPO menjadi penting agar puncak panen TBS sawit pada Agustus dapat terserap oleh pabrik kelapa sawit (PKS). "Terlambat ambil keputusan (ekspor CPO) bisa berakibat fatal secara nasional dan investasi 6,72 juta hektar petani sawit akan berguguran massal. Kami level petani saja bisa berhitung dengan sedikit cermat," kata Gulat.

Reporter: Antara