Indonesia dan Malaysia sepakat melakukan pendekatan ke Uni Eropa atau UE untuk mengkomunikasikan dan mencari jalan tengah terkait aturan yang melarang masuknya produk-produk hasil deforestasi ke kawasan tersebut. Pendekatan ini bertujuan agar Indonesia dan Malaysia masih bisa mengekspor produk sawit ke negara tersebut.
Hal itu mengemuka saat pertemuan Menteri Bidang Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto dan Deputi Perdana Menteri dan Menteri Perladangan dan Komoditas Malaysia Dato’ Sri Haji Fadilah di Jakarta pada Kamis (8/2).
Airlangga mengatakan, Indonesia dan Malaysia sepakat akan membujuk dan mengkomunikasikan ke UE agar mencegah konsekuensi yang tidak diinginkan dari peraturan antideforestasi itu. Kedua negara yang tergabung dalam Council of Palm Oil Producing Countries atau CPOPC tersebut akan berkolaborasi untuk melakukan pendekatan.
"CPOPC juga bermaksud untuk terus terlibat dengan UE dalam mencari hasil yang menguntungkan bagi negara produsen maupun konsumen,” ujar Airlangga dalam Konferensi Pers, Jakarta, Kamis (8/2).
Setelah misi pendekatan bersama UE selesai dilakukan, Indonesia dan Malaysia juga akan melakukan kunjungan ke India untuk memanfaatkan beberapa peluang potensial yang ada di negara tersebut.
Tidak Bahas Setop Ekspor Sawit ke UE
Airlangga mengatakan, pertemuan tersebut sama sekali tidak membahas aksi pemblokiran atau setop ekspor sawit ke Uni Eropa. "Setop ekspor bukanah hal yang dibahas," ujarnya.
Deputi Perdana Menteri dan Menteri Perladangan dan Komoditas Malaysia Dato' Sri Haji Fadilah mengatakan banyak strategi yang telah dilakukan oleh Indonesia dan Malaysia agar EU memberikan kesempatan pada kedua negara itu untuk ekspor sawit dan mencabut aturan antideforestasi.
Dia ingin melakukan komunikasi kepada EU terkait apa yang sebenarnya terjadi di Indonesia dan Malayasia, di mana sawit sangat berdampak untuk membantu perekonomian para petani dari kemiskinan.
"Saya ingin membawa suara para petani kecil untuk memberi tahu ke EU apa yang sebenarnya terjadi di Indonesia dan Malayasia, dimana sawit berdampak untuk membantu para petani sawit dari kemiskinan" ujarnya.
Selain itu, dia menegaskan bahwa petani kecil sawit akan menjaga lingkungan sekitar sehingga EU tidak perlu khawatir terkait dampak yang diberikan dari adanya ekspor sawit tersebut.
Sebelumnya, Uni Eropa telah menyepakati regulasi tentang rantai pasokan bebas deforestasi. Regulasi tersebut mewajibkan perusahaan lokal dan asing untuk menyediakan pernyataan uji kelayakan atau due diligence bahwa produknya tidak berkontribusi ke penggundulan dan degradasi hutan di mana pun setelah 31 Desember 2020.
“Peraturan baru yang penting ini akan melindungi hutan-hutan di dunia dan mencakup lebih banyak komoditas dan produk seperti karet, kertas cetak, dan arang,” kata Christophe Hansen, Anggota Parlemen Eropa, dalam siaran pers yang dirilis pada 6 Desember 2022.
Regulasi tersebut berlaku 20 hari sejak dirilis. Namun demikian, beberapa pasal akan berlaku 18 bulan setelahnya.
Aturan tersebut memicu kekhawatiran dari pemerintah dan industri terkait potensinya yang bisa menghambat perdagangan sejumlah komoditas, termasuk sawit.
Peraturan antideforestasi UE menyasar kakao, kopi, minyak kelapa sawit, kedelai, ternak, kayu, karet, arang, dan kertas cetak. Begitu juga dengan produk-produk turunan dari komoditas-komoditas tersebut, seperti daging, kulit, mebel, dan cokelat.
Berdasarkan data United States Department of Agriculture (USDA), Indonesia dan Malaysia adalah produsen minyak sawit terbesar di dunia. USDA memproyeksikan produksi CPO Indonesia bisa mencapai 45,5 juta metrik ton (MT) pada periode 2022/2023, dan produksi CPO Malaysia 18,8 juta MT.
Jika digabungkan, duo Indonesia-Malaysia menguasai 83% dari produksi CPO global, yang totalnya diperkirakan mencapai 77,22 juta MT pada periode 2022/2023.