Harga CPO Potensi Naik Setelah Rusia Mundur dari Perjanjian Laut Hitam
Harga CPO atau minyak sawit mentah berpotensi naik setelah Rusia mundur dari Black Sea Grain Initiative. Berkurangnya pasokan biji-bijian dunia, menyebabkan permintaan CPO sebagai alternatif minyak konsumsi nabati menjadi naik.
Sebagai informasi, Black Sea Grain Initiative merupakan perjanjian yang menjamin Ukraina untuk memasok ekspor biji-bijian dengan aman selama perang dengan Rusia. Namun demikian, perjanjian tersebut berakhir dan Rusia enggan memperpanjang kesepakatan tersebut. Rusia dan Ukraina merupakan produsen utama biji-bijian dunia, termasuk gandum, biji bunga matahari, dan jagung.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia, Eddy Martono, mengatakan pasokan biji-bijian yang berkurang akan menyebabkan suplai minyak nabati merosot. Kondisi tersebut bisa menyebabkan harga minyak nabati naik, termasuk harga CPO.
"Ini seharusnya juga akan meningkatkan permintaan minyak sawit Indonesia naik," ujarnya saat dihubungi Katadata.co.id, Jumat (21/7).
Kondisi ini menjadi kesempatan bagi eksportir CPO Indonesia untuk meraih keuntungan di tengah penurunan harga CPO. Harga CPO terus merosot 12,62% year to date hingga menyentuh US$ 900 per Metrik Ton pada 23 Juni 2023. Demikian pula dibandingkan periode yang sama, secara tahunan harga CPO telah turun 37,93% (year on year/yoy).
Berikut grafik harga CPO dunia selama tiga bulan terakhir.
Harga Pangan Naik
Harga gandum dan jagung langsung melonjak setelah Rusia mengumumkan mundur dari Perjanjian Laut Hitam. Padahal sebelumnya, harga dua komoditas tersebut merosot selama dua pekan.
Hampir 33 juta metrik ton jagung, gandum, dan biji-bijian lainnya telah diekspor oleh Ukraina di bawah pengaturan tersebut. Kapal terakhir meninggalkan Ukraina di bawah kesepakatan pada hari Minggu (16/7).
Sekjen PBB Antonio Guterres mengatakan, perjanjian itu membantu menurunkan harga pangan lebih dari 20% secara global.
"Ratusan juta orang menghadapi kelaparan dan konsumen menghadapi krisis biaya hidup global. Mereka akan membayar harganya," kata Guterres dikutip dari Reuters.
Dia mengatakan, PBB akan terus berusaha mendapatkan akses tanpa hambatan ke pasar global untuk makanan dan pupuk dari Ukraina dan Rusia.