Sumbang Polusi Jakarta, Industri Harap Ada Insentif Filter dan PLTS

ANTARA FOTO/Fauzan/aww.
Suasana gedung bertingkat yang terlihat samar karena polusi udara di Jakarta, Selasa (6/6/2023). Berdasarkan situs IQAir, kualitas udara di Jakarta pada Selasa (6/6/2023) pukul 16.52 WIB berada di angka 151 atau menempati posisi ketiga dengan kualitas udara terburuk di dunia.
15/8/2023, 17.46 WIB

Kamar Dagang dan Industri Indonesia atau Kadin mengakui sektor manufaktur memberikan sumbangan pada buruknya polusi udara di DKI Jakarta. Pelaku usaha berharap pemerintah bisa memberikan insentif penggunaan filter dan pemasangan panel surya di pabrikan.

Wakil Ketua Bidang Perindustrian Kadin, Bobby Gafur Umar, menyampaikan pihaknya pernah berdiskusi dengan Kementerian Perindustrian terkait pemasangan filter di pabrik sekitar Ibu Kota. Bobby mendorong agar pemerintah memberikan insentif kepada pengusaha agar mau melakukan investasi pada pemasangan filter tersebut dan membuat pabrikan lebih ramah lingkungan.

"Cuman investasi yang seperti ini dilihat sepotong-sepotong, jadi gambarnya enggak jadi satu. Alhasil, pengusaha enggak mau lari. Baru lah sekarang terasa begini kotornya udara Jakarta," kata Bobby kepada Katadata.co.id, Selasa (15/8).

Saat itu, Bobby menceritakan dirinya menganjurkan agar insentif tersebut berbentuk fiskal dan diberikan selama 2-3 tahun masa transisi. Bobby berargumen insentif tersebut penting memancing pengusaha melakukan investasi di bidang lingkungan sehingga bisa mengurangi polusi Jakarta.

Bobby menjelaskan insentif tersebut berfungsi agar biaya investasi yang dilakukan para pabrikan tidak tersalurkan ke harga jual produk. Tanpa insentif, Bobby menilai transisi pabrikan ke arah industri hijau akan menurunkan daya saing produk lokal di pasar domestik maupun ekspor.

Oleh karena itu, Bobby mengaku akan kembali mengajukan insentif tersebut kepada pemerintah. Kali ini Bobby berencana untuk menambah program investasi tersebut menjadi penggunaan filter dan pemasangan panel surya di pabrikan.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengklasifikasikan emisi polusi udara di Jakarta menjadi tujuh jenis. Ketujuh emisi tersebut adalah Sulfur Dioksida (SO2), Nitrogen Dioksida (NO2), Karbon Monoksida (CO), Partikulat (PM10 dan PM2,5), Black Carbon (BC), dan  Non-Methane Volatile Organic Compounds (NMVOC).

Seluruh polutan tersebut mencemari Jakarta setara dengan 633.031 ton per tahun. Sektor manufaktur tercatat menjadi kontributor dominan dalam mengeluarkan emisi SO2, NO2, PM10, PM2,5, dan BC.

Sektor manufaktur tercatat berkontribusi 4,14% atau mengeluarkan emisi 26.260 ton per tahun. Secara presentasi, sektor manufaktur dominan pada produksi SO2 atau hingga 61,96%, sedangkan secara volume ada pada NO2 atau sebanyak 12.383 ton per tahun.

Bobby menyampaikan sektor manufaktur tidak dapat mengurangi produksi polusi udara tersebut dalam waktu dekat. Pasalnya, sektor manufaktur membutuhkan investasi besar untuk mengubah proses produksinya.

"Kalau ingin rekayasa cuaca silahkan, WFH silahkan saja, cuman kalau untuk industri susah untuk berubah dalam jangka pendek," kata Bobby.

Bobby mengatakan industri hingga saat ini belum tertarik memanfaatkan dana JETP lantaran bunga yang dinikmati setara dengan pinjaman bank ke korporasi atau sekitar 11%. Selain itu, Bobby melaporkan tenor yang dinikmati pengusaha maksimal hanya 5 tahun.

"Kalau dana JETP bisa sampai ke pelaku usaha dengan bunga 5% saja itu bagus. Tapi, sampai sekarang kami belum tahu apa dana tersebut bisa dipakai sektor swasta atau tidak," ujarnya.

Sebagai informasi, Indonesia memiliki fasilitas komitmen pembiayaan dari program Just Energy Transition Partnership atau JETP senilai US$ 21,7 miliar. Sebanyak 3% dari dana tersebut berbentuk hibah, sedangkan selebihnya merupakan pembiayaan dengan bunga murah sekitar 3% dengan tenor panjang.

Reporter: Andi M. Arief