ESDM Rundingkan Moratorium Smelter Nikel Kelas II Bersama Kemenperin

Harita Nickel
Ilustrasi smelter nikel.
Penulis: Mela Syaharani
20/10/2023, 16.46 WIB

Kementerian ESDM berencana untuk membatasi pemberian izin proyek pabrik pemurnian mineral atau smelter nikel kelas II. Menteri ESDM Arifin Tasrif menyebut moratorium smelter nikel kelas II ini sedang dalam tahap komunikasi serta koordinasi bersama Kementerian Perindustrian.

Hal ini mempertimbangkan suplai dan permintaan bijih nikel agar smelter yang sudah terbangun bisa mendapatkan pasokan bijih nikel yang cukup untuk keberlanjutan operasinya.

“Karena kebanyakan izin yang tidak terintegrasi kan ada di sana, kalo tidak nikel kita habis,” kata Menteri ESDM Arifin Tasrif saat ditemui di Kementerian ESDM pada Jumat (20/10).

Kementerian ESDM mengatakan moratorium nikel II ini tidak terganjal Kementerian Perindustrian. “Kita harus mulai mengevaluasi dan menentukan bahwa ke depan harus smelter yang bernilai,” terangnya

Lebih lanjut Arifin menjelaskan bahwa industri hilir dalam negeri bertugas untuk menampung processing yang punya nilai tambah. “Itu harus banyak ditarik, kan sudah mulai ada mudah-mudahan untuk bikin prekursor,” jelasnya.

Arifin mengungkapkan moratorium smelter nikel ini bertujuan untuk mendorong baterai kendaraan listrik (EV). “Itulah modal utama kita. Diberi modal utama mineral yang bisa membantu elektrifikasi energi bersih harus kita manfaatkan,” ucapnya.

Selain suplai dan mendorong baterai EV, moratorium juga dilakukan untuk menjaga keseimbangan antara pasokan dan kebutuhan bijih nikel agar Indonesia tidak berakhir menjadi pengimpor bijih nikel di masa mendatang.

“Kementerian ESDM sudah ada rencana untuk melakukan pembatasan. Dari Kemenkomarves juga mengatakan bahwa pemerintah tidak akan mengeluarkan lagi izin untuk pembangunan smelter jenis untuk proses Pirometalurgi untuk nikel kelas II,” ujar Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Percepatan Tata Kelola Mineral dan Batubara Irwandy Arif, dikutip Kamis (18/10).

Irwandy menjelaskan, pemerintah akan mengkaji secara komprehensif kebijakan ini, terutama untuk proses nikel yang ada di Indonesia, baik nikel berkadar rendah (limonite) maupun nikel berkadar tinggi (saprolite).

“Saat ini, nikel yang mengalami proses pirometalurgi ke arah stainless steel ada 44 smelter dan yang menggunakan proses hidrometalurgi ke arah baterai itu ada 3 smelter. Konsumsi bijih nikel untuk pirometalurgi dengan saprolite adalah 210 juta ton per tahun dan limonate 23,5 juta ton per tahun,” ujarnya.

Selain itu, terdapat 25 smelter yang sedang tahap konstruksi membutuhkan pasokan nikel sebanyak 75 juta ton per tahun. Sedangkan untuk arah proses baterai hidrometalurgi ada 6 smelter yang sedang konstruksi dengan kebutuhan biji 34 juta ton per tahun.

Pada tahap perencanaan ke arah pirometalurgi, terdapat 28 smelter dan 10 smelter untuk hidrometalurgi dengan kebutuhan masing-masing 130 juta ton per tahun dan 54 juta ton per tahun.

“Total, smelter yang ada sampai dengan saat ini, belum lagi yang terbaru itu ada 116 melter yang terdiri dari 97 smelter pirometalurgi dan 19 smelter ke arah hidrometalurgi,” kata Irwandy.

Reporter: Mela Syaharani