RI Berencana Kembangkan LFP Bersamaan dengan Baterai Berbasis Nikel
Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menyampaikan bahwa pemerintah juga mengembangkan baterai kendaraan listrik berjenis LFP atau lithium ferrophospate (LFP) bersamaan dengan baterai berbasis nikel.
Luhut menjawab pernyataan Thomas Lembong terkait harga nikel yang terus turun. Menurut dia, harga yang terlalu tinggi tidak akan baik untuk Indonesia karena akan memicu dikembangkannya teknologi baterai yang tidak menggunakan nikel.
Luhut mengatakan bahwa pemerintah belajar dari melonjaknya harga cobalt beberapa tahun lalu yang memicu perkembangan baterai LFP. Cobalt merupakan salah satu bahan baku baterai berbasis nikel NMC (nickel-manganese-cobalt).
Oleh karena itu, Luhut memastikan bahwa pemerintah berusaha mencari keseimbangan agar harga nikel tidak terlalu tinggi sehingga dunia mencari teknologi baterai alternatif yang tidak menggunakan nikel. Di saat yang sama pemerintah juga akan mengembangkan baterai LFP.
"Kita mencari keseimbangan benar-benar supaya barang kita tetap masih dibutuhkan sampai berapa belas tahun yang akan datang. Kita bersyukur LFP kita kembangkan dengan Cina, dan baterai berbasis nikel juga dengan Cina dan negara lainnya," kata Luhut dalam video di akun instagramnya @luhut.pandjaitan dikutip Kamis (1/2).
Luhut juga membantah bahwa pabrik Tesla di Shanghai, Cina, 100% menggunakan LFP. "Mereka masih tetap menggunakan nickel based battery yang disuplai LG Korea Selatan. Memang ada yang mulai LFP karena penelitiannya yang semakin berkembang," ujarnya.
Namun dia mengakui bahwa ada kemungkinan penggunaan nikel pada akhirnya akan berkurang. Oleh karena itu pemerintah juga menggenjot pemanfaatannya secara terukur.
Peluang RI Kembangkan Baterai LFP
Pengamat Energi Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi menilai rencana ini merupakan keputusan yang baik. Penilaian tepat menurut Fahmy sebab Indonesia belum memiliki teknologi untuk mengembangkan LFP, sehingga diperlukan kerja sama dengan pihak lain.
“Indonesia akan mengembangkan LFP bersama Cina, saya kira ini tepat karena Indonesia harus melakukan suatu inovasi. Baik untuk menghasilkan bahan bakunya atau kemudian nanti menghasilkan baterai LFP. Saat ini yang punya teknologi barangkali costnya relatif rendah ya Cina” ujarnya kepada Katadata pada Kamis (1/2).
Terlebih fahmy mengatakan kepiawaian Cina dalam mengelola LFP sampai dilirik oleh perusahaan kendaraan listrik kenamaan dunia. “Tesla itu sebagian kendaraannya menggunakan LFP dan bekerja sama dengan Cina. Jadi kalau Indonesia mau mengembangkan LFP saya kira nggak masalah,” ucapnya.
Fahmy memproyeksi bahwa dalam 10-15 tahun ke depan kebutuhan kendaraan listrik akan semakin meningkat. Para pengguna mobil berbahan bakar fosil akan beralih menggunakan mobil listrik.
“Jika berdasarkan proyeksi tersebut, maka akan ada pasar kendaraan listrik yang besar. Misalnya pasar dalam negeri saja kalau konsumen itu berpindah ke kendaraan listrik itu jumlahnya sudah besar sekali,” kata dia.
Sebagai informasi, dalam dunia kendaraan listrik kini baterai tidak hanya berasal dari nikel saja, namun juga dapat berasal dari LFP tadi yang katodanya terbuat dari besi, fosfat, dan litium. Menurut Fahmy, Indonesia memiliki potensi kandungan bahan baku LFP.
“Kalau besi fosfat saya kira Indonesia punya resource-nya, jadi barangkali ini bisa dikembangkan juga dari sumber-sumber pasir besi yang kemudian bisa diolah menjadi besi fosfat tadi,” ujar dia.
Sependapat dengan Fahmy, Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia Rizal Kasli mengatakan Rizal menilai tidak ada yang salah dengan rencana kerja sama Cina dalam mengembangkan LFP.
“Amerika Serikat saja bergandengan tangan untuk investasi di bidang ini karena memang Cina lebih unggul dalam teknologi ini. Jadi, tidak ada salahnya Indonesia juga bekerja sama dengan Cina dalam mengembangkan teknologi ini,” kata Rizal saat dihubungi Katadata pada Kamis (2/1).
Namun, menurut Rizal saat ini Indonesia belum memiliki sumber bahan baku lithium yang dibutuhkan untuk menghasilkan LFP. “Indonesia sampai saat ini belum punya itu lithium, walaupun di beberapa diindikasikan terdapat lithium, namun belum bisa dikategorikan sebagai sumber daya,” ujarnya.
Kendati demikian, Rizal mengatakan tidak ada bahan baku bukan menjadi masalah karena untuk mendapatkan bahan baku Indonesia sementara dapat melakukan impor. “Bahan bakunya bisa diimpor dari negara penghasil mineral yang kita butuhkan, sambil mengembangkan sumber daya dan cadangan dalam negeri,” ucapnya.
Guna memaksimalkan LFP ini, Rizal menyebut pemerintah harus fokus dalam riset dan pengembangannya. “Fokus dalam pengembangan teknologi modern dan sangat dibutuhkan saat ini dan ke depan. Anggaran yang cukup harus disediakan untuk riset dan pengembangan ini,” kata dia.
Bagaimana Nasib Nikel?
Rizal menyebut pengembangan jenis-jenis baterai memang harus dilakukan. “Agar Indonesia bisa menjadi bagian dari rantai pasok global untuk penyediaan baterai untuk kendaraan listrik,” kata Rizal.
Seperti yang diketahui, LFP memang memiliki sejumlah keunggulan dan kelemahan. Dari sisi keunggulan, LFP memiliki aspek keamanan (safety), biaya murah (cost), umur baterai (life span). Namun, memiliki sisi kelemahan yaitu kapasitas penyimpanan energy (specific energy) relatif kecil dibandingkan baterai jenis NCM (berbasis nikel).
Menurut Rizal, pengembangan LFP pasti memberikan dampak bagi Nikel. “Pengaruhnya terhadap industri nikel tetap ada karena substitusi ini. Tetapi nikel bukan hanya digunakan untuk baterai, yang dominan penggunaan nikel adalah untuk stainless steel dan alloys yang sangat dibutuhkan dunia,” kata dia.