Pakar: Masa Depan Nikel Indonesia Aman Meski Digempur Baterai LFP

ANTARA FOTO/Syaiful Arif/tom.
Pemilik mobil listrik melakukan pengisian daya di Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Ultra Fast Charging (SPKLU) di rest area teras melati ruas tol Jombang-Mojokerto (Jomo) KM 695A Kedungmlati, Kabupaten Jombang, Jawa Timur, Jumat (22/12/2023).
Penulis: Mela Syaharani
5/2/2024, 17.55 WIB

Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) mengatakan masa depan kendaraan listrik akan memperlihatkan bagaimana porsi penggunaan baterai listrik berbasis lithium ferro-phosphate (LFP) ataupun nickel manganese cobalt (NMC).

Ketua Bidang Kajian Strategis Pertambangan Perhapi Muhammad Toha menyampaikan dengan adanya proyeksi ini, pemerintah perlu memperhatikan hasil riset terkait pengembangan baterai mobil listrik dalam beberapa tahun kedepan.

“Apakah nantinya lebih banyak kendaraan listrik menggunakan baterai LFP atau NMC. Tetapi apapun itu ketika kita bicara mengenai quo vadis masa depan nikel Indonesia, pada dasarnya nikel Indonesia akan baik-baik saja,” kata Toha dalam webinar LFP vs Baterai Nikel yang dipantau secara daring pada Senin (5/2).

Menurut Toha, entah nikel Indonesia akan dipakai atau tidak untuk baterai kendaraan hal tersebut tidak akan berpengaruh signifikan.

“Saya hanya akan tegaskan bahwa nikel tidak akan pernah tergantikan untuk industri-industri strategis dan vital. Nikel tidak akan tergantikan di stainless steel, renewable energy ataupun di beberapa aloy tertentu yang memang akan membutuhkan nikel,” ujarnya.

Toha menyebut, meskipun teknologi masa depan akan terus tumbuh dan berkembang namun tidak akan berpengaruh terhadap penyusutan penggunaan nikel.

“Hanya memang perlu memastikan bagaimana tata kelola nikel di Indonesia ini bisa dilakukan dengan baik. Tujuannya untuk menyeimbangkan supply dan demand itu yang paling penting sebenarnya,” ucapnya.

Toha menjelaskan, Indonesia sebagai negara dengan cadangan nikel terbesar dan juga negara dengan produksi intermediate produk berbasis nikel terbesar itu punya kesempatan untuk mengontrol supply dan demand. Salah satu caranya adalah dengan mengendalikan produksi dan juga memastikan cadangan nikel terus bisa terjaga.

“Kalau itu bisa dilakukan maka apapun penggunaan nikel masa depan, apakah nikel itu akan tetap dipakai di baterai mobil listrik atau yang lain itu tidak akan berdampak signifikan terhadap nikel Indonesia,” kata dia.

Toha menyampaikan jika Indonesia bisa mengendalikan supply dan demand, maka juga bisa mengendalikan harga. “Sehingga harga nikel akan tetap bisa terpantau secara baik, sehingga kita sebagai negara dengan cadangan terbesar bisa menikmati keuntungan yang maksimal atas cadangan dan sumber daya yang kita miliki,” ucap Toha.

Dalam paparannya, Toha menyebut bahwa permintaan baterai li-ion diperkirakan akan tumbuh karena meningkatnya kebutuhan kendaraan listrik dan penyimpanan energi.

Baterai lithium ion merupakan komponen utama dalam kendaraan listrik dan ESS (energy storage system). Seiring meningkatnya permintaan kendaraan listrik dan ESS diperkirakan permintaan baterai li-ion akan mencapai lebih dari 700 Gwh pada 2027.

Reporter: Mela Syaharani