Kemenperin: Butuh Rp 1.110 T untuk Hilirisasi Nikel, Tembaga, Bauksit

ANTARA FOTO/Mohamad Hamzah/Spt.
Foto udara pemukiman warga dan kawasan industri berbasis nikel Indonesia Morowali Industrial Park atau PT IMIP di Kecamatan Bahodopi, Sulawesi Tengah, Jumat (26/1/2024).
Penulis: Antara
Editor: Sorta Tobing
19/3/2024, 17.09 WIB

Indonesia butuh US$ 70,57 miliar atau sekitar Rp 1.110 triliun untuk melakukan hilirisasi logam dasar hingga 2029. Produk tambang potensial dalam pengembangan ini adalah nikel, bauksit, dan tembaga.

Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika (ILMATE) Kementerian Perindustrian Taufiek Bawazier mengatakan, untuk hilirisasi nikel butuh investasi US$ 51,7 miliar, bauksit US$ 270,3 juta, dan tembaga US$ 18,6 miliar. 

Investasi di industri nikel untuk pengembangan nikel kelas satu, seperti mized hydrocide precipitate (MHP), nickel mattenickel plate, nikel sulfat, dan kobalt sulfat. "Termasuk hidrometalurgi ada di sini untuk mendukung baterai listrik," kata Taufiek dalam rapat bersama Komisi VII DPR, Jakarta, Selasa (19/3). 

Hidrometalurgi merupakan metode memperoleh logam dari sumbernya dengan memakai rekasi kimia dalam larutan berair. 

Untuk industri bauksit, investasinya untuk pengembangan pabrik pengolahan dan pemurnian (smelter) alumina, ingot aluminium, dan aluminium ekstrusi. Lalu, pengembangan tembaga untuk menghasilkan katoda tembaga, batang tembaga (copper bar and rods), dan kawat tembaga. 

Investasi di sektor tembaga, menurut Taufiek, sangat penting. Produk tambang ini dibutuhkan 4,5 kali lipat untuk proses transisi energi fosil ke energi terbarukan (EBT) dan kendaraan listrik.