Kawal Judicial Review UU Cipta Kerja, Buruh akan Berdemo di Depan Gedung MK

Muhammad Zaenuddin|Katadata
Sejumlah massa yang tergabung dari berbagai serikat buruh melakukan unjuk rasa di kawasan Patung Kuda Arjuna Wiwaha, Jakarta, Senin (2/10).
Penulis: Andi M. Arief
Editor: Sorta Tobing
29/10/2024, 15.14 WIB

Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia akan berdemonstrasi di depan Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, pada Kamis, 31 Oktober 2024. Aksi tersebut bertujuan untuk mengawal pembacaan putusan hakim MK  terkait uji materi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja.

Presiden KSPI Said Iqbal menyampaikan jumlah peserta demonstrasi tersebut lebih dari 1.000 buruh dari 60 federasi serikat pekerja. Peserta aksi  merupakan buruh yang berdomisili di Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi) dan Karawang.

"Kami berharap aparat penegak hukum tidak mendirikan pembatas di kawasan Patung Kuda karena kami sedang mencari keadilan dan ini aksi damai," kata Said dalam konferensi pers virtual, Selasa (29/10).

Para peserta aksi akan berasal dari berbagai sektor manufaktur, seperti otomotif, logam, dan bahan kimia, sampai pegawai bank. Selain di depan gedung MK, demonstrasi juga dilakukan di depan kantor gubernur masing-masing provinsi pada hari yang sama.

Dengan demikian, Said memperkirakan jumlah peserta demonstrasi di penjuru negeri pada 31 Oktober 2024 akan lebih dari 20 ribu orang. "Buruh di seluruh Indonesia akan mengawal putusan Mahkamah Konstitusi tentang pencabutan UU Cipta Kerja, khususnya klaster ketenagakerjaan," katanya.

Pihak buruh sebelumnya  mengajukan tujuh poin yang membuat UU Cipta Kerja inkonstitusional secara materiil. Berikut tujuh poin yang dimaksud Said:

  1. Pencabutan upah murah
    Salah satu aturan turunan UU Cipta Kerja adalah Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2023 tentang Pengupahan. Penerapan rumus penghitungan upah minimum tercantum di dalamnya. Said mengatakan, rumus dalam beleid tersebut membuat upah buruh menjadi rendah. Sebab, PP itu membuat UMP 2024 hanya naik 3,6%, lebih rendah dari tuntutan KSPI sebesar 15%. 

  2. Pencabutan pasal pekerja alih daya (outsourcing)
    UU Cipta Kerja membuat status outsourcing seorang tenaga kerja dapat berlaku seumur hidup. Said menyebut, pasal tersebut melegalkan perbudakan modern di dalam negeri. Selain itu, buruh menganggap pasal outsourcing, yang kental dengan ekonomi kapitalisme, bertentangan dengan sikap Presiden Prabowo Subianto yang mendorong pendekatan ekonomi Pancasila.  

  3. Pencabutan pasal yang mempermudah pemutusan hubungan kerja (PHK)
    Said mengatakan, pasal ini membuat perekonomian nasional berasas neoliberal. Pemberi kerja dapat melakukan PHK hanya melalui pesan singkat. "Cara ini akan diterima oleh Dinas Ketenagakerjaan di semua daerah," kata Said. 

  4. Pencabutan pasal pensangon murah
    Dalam UU Ciptaker terdapat pasal yang membuat pekerja dengan masa kerja sekitar 30 tahun dan pendapatan sekitar Rp 4,5 juta per bulan hanya mendapat pesangon Rp 10 juta. Di aturan sebelumnya, yaitu UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pesangon untuk pekerja dengan kondisi tersebut dapat mencapai Rp 200 juta. 

  5. Pencabutan aturan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT)
    Terkait perjanjian kerja, UU Cipta Kerja memang membatasi masa kontrak maksimal satu dokumen PKWT adalah lima tahun. Namun, aturan ini tidak membatasi pembaruan waktu kontrak PKWT tersebut. 

  6. Pencabutan aturan tentang tenaga kerja asing (TKA)
    UU Cipta Kerja, menurut Said, mempermudah TKA yang tidak memiliki keahlian bekerja di dalam negeri. Pemerintah kini tidak wajib menyeleksi maupun memeverifikasi keahlian tenaga kerja asing yang dimasukkan oleh investor. 

  7. Revisi pasal tentang cuti
    Dalam UU Ketenagakerjaan 2003 tertulis, tenaga kerja berhak mendapatkan cuti berbayar paling lama dua bulan setelah bekerja selama enam tahun. Namun, klausul tersebut dihapus dalam UU Cipta Kerja. Selain itu, undang-undang yang baru juga tidak jelas soal cuti haid. "UU Cipta Kerja tidak memasukkan kata upah dalam pengaturan cuti haid," ucap Said. 


Reporter: Andi M. Arief