Untuk mendukung perekonomian, ada beberapa strategi yang akan ditempuh pemerintah. Mereka bisa meningkatkan belanja infrastruktur dan menurunkan ketentuan GWM sehingga belanja modal tidak terganggu. Namun, konsumsi masyarakat diperkirakan belum pulih mengingat kepercayaan konsumen tergerus oleh perang dagang Tiongkok-AS.

Sementara itu, Kepala Ekonom Moody's Analytics untuk Asia-Pasifik Steve Cochrane mengatakan, pemerintah Tiongkok akan menggunakan stimulus-stimulus untuk memastikan perekonomiannya berada di jalur yang benar. Bank sentral dapat kembali menurunkan ketentuan GWM perbankan dan memangkas sejumlah pajak. "Kesulitannya ada pada upaya untuk mendorong konsumsi masyarakat karena konsumen memiliki utang yang tinggi," kata Cochrane.

Beban utang yang tinggi juga dihadapi oleh korporasi dan pemerintah daerah di Tiongkok. "Jadi, pertanyaannya bukan bagaimana pemerintah bisa memberikan stimulus tetapi seberapa efektif stimulus tersebut mendorong ekonomi," ujar Cochrane.

Rasio utang rumah tangga (household debt) di Tiongkok membengkak dari 17,9% PDB pada 2008 menjadi 49% PDB pada akhir 2017. Angka ini di atas rata-rata rasio utang rumah tangga di negara-negara berkembang yang sebesar 39,8% PDB.

Menurut Dana Moneter Internasional (IMF), rasio utang rumah tangga terhadap PDB yang menguntungkan bagi perekonomian suatu negara adalah di bawah 10% PDB.  Ketika rasio ini sudah menyentuh 30% PDB, pertumbuhan ekonomi jangka menengah dari negara tersebut akan terpengaruh. Jika rasio utang rumah tangga terhadap PDB di atas 65%, stabilitas finansial negara itu akan terganggu.

(Baca: Proyeksi Ekonomi 2019: Optimisme Pemerintah vs Pesimisme Lembaga Dunia)

Halaman: