Empat Negara yang Dinilai Sukses Kendalikan Penyebaran Corona

ANTARA FOTO/REUTERS/Kim Hong-Ji/hp/dj
Seorang wanita memakai masker pelindung sambil mendorong kereta bayi berisi anjing di Seoul, Korea Selatan, Rabu (1/4/2020).
24/4/2020, 17.57 WIB

Virus corona telah menyebar ke ratusan negara. Berdasarkan data John Hopkins, sebanyak 185 negara/teritorial telah melaporkan kasus infeksi akibat virus tersebut atau Covid-19, termasuk Fiji dan teritorial Amerika Serikat Guam yang berada di kepulauan Pasifik.

Pandemi corona terus berlanjut seiring belum adanya vaksin dan obat khusus. Beberapa peneliti memprediksikan, setelah gelombang pertama penyebaran virus corona terlewati, masih akan ada gelombang lanjutan. Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO menyebut akhir pandemi masih lama.

(Baca: Tes Imunitas Corona dan Harapan Ekonomi Kembali Berputar)

Namun sejauh ini, beberapa negara mendapat sorotan internasional lantaran dinilai cukup berhasil menekan penyebaran corona lewat berbagai respons kebijakan dini. Kesuksesan itu tercermin dari perlambatan jumlah kasus corona dan rendahnya angka kematian. Berikut empat negara di antaranya:

1. Vietnam

Negara pimpinan Presiden Nguyễn Phú Trọng menjadi salah satu negara yang dinilai sukses menangani penyebaran corona. Respons cepat dan kontrol pemerintah menjadi kunci sukses negara tersebut dalam meredam penyebaran virus. Hingga kini, Vietnam melaporkan nol kasus kematian akibat Covid-19.  

Berdasarkan data John Hopkins per 24 April 2020, Vietnam melaporkan 268 kasus Covid-19, sebanyak 224 di antaranya sembuh. Jumlah kasus tercatat meningkat sepanjang Maret hingga pertengahan April. Namun, per 16 April hingga 24 April, tidak ada penambahan kasus baru.

Dikutip dari artikel dalam situs World Economic Forum, Vietnam meluncurkan sederet inisiatif untuk melawan penyebaran corona pada 1 Februari 2020. Seluruh penerbangan dari dan menuju Tiongkok disetop. Sekolah ditutup setelah libur tahun baru Tiongkok.

(Baca: Munculnya 10 Peluang Bisnis Baru dari Hidup "Normal" di Masa Pandemi)

Dua minggu kemudian, karantina diberlakukan di Provinsi Vinch Phuc, sebelah utara Hanoi. Keputusan itu seiring kekhawatiran akan status kesehatan dari para pekerja migran yang kembali dari Wuhan, kota yang menjadi episentrum awal virus corona.

Selanjutnya, negara tersebut memberlakukan karantina selama 14 hari untuk siapapun yang baru tiba di Vietnam dan menyetop seluruh penerbangan internasional. Orang-orang yang terinfeksi diisolasi dan pelacakan dilakukan terhadap semua orang yang kemungkinan pernah berhubungan dengan pasien corona.

Sebagai langkah antisipasi, bilik-bilik disinfektan disebar di berbagai tempat – meskipun belakangan para ahli kesehatan mengeluarkan peringatan bahaya penyemprotan tubuh dengan disinfektan. Masyarakat juga diwajibkan mengenakan masker ketika berada di luar rumah. Informasi mengenai cara penanganan Covid-19 ditempatkan di berbagai area publik guna meningkatkan pemahaman penduduk.

(Baca: Kejatuhan Harga Minyak Berisiko Hantam Ekonomi Negara Raja-raja Minyak)

HEALTH-CORONAVIRUS/VIETNAM-RICEATM (ANTARA FOTO/REUTERS/Yen Duong/hp/dj)

Sebagai negara satu partai dengan kekuatan militer dan keamanan yang besar dan terorganisasi, pemerintah Vietnam bisa membuat keputusan cepat serta implementasi segera. Ditambah lagi adanya budaya pengawasan di masyarakat. Warga diharapkan melapor bila ada tetangga yang diduga terjangkit corona atau melakukan pelanggaran.

Orang yang kedapatan menyebarkan berita bohong atau salah tentang corona berisiko didatangi polisi. Hingga akhir Maret, 800 orang didenda terkait hal itu.

Berbeda dengan negara Asia lainnya yang lebih kaya, seperti Korea Selatan, Vietnam tidak dalam posisi melakukan tes massal. Sebagai perbandingan, per 20 Maret, jumlah orang yang dites corona di negara tersebut sebanyak 15.637 orang, sedangkan di Korea Selatan 338 ribu orang. Seperti disinggung di awal, kunci penanganan corona di Vietnam adalah respons cepat dan kontrol pemerintah.

2. Korea Selatan

Korea Selatan melawan penyebaran corona dengan memberlakukan tes corona besar-besaran dan pelacakan kontak dari para pasien corona secara agresif. Negara pimpinan Presiden Moon Jae-in tersebut menyediakan tempat-tempat pengetesan corona gratis di area publik. Metode ini kemudian diikuti negara lain, termasuk Amerika Serikat.  

Pemerintahnya memanfaatkan rekaman CCTV, transaksi kartu debit dan kredit, dan data komunikasi dari ponsel, untuk melacak siapa yang harus dites. Pelacakan dengan metode ini dinilai efektif seiring penggunaan masif CCTV di negara tersebut dan transaksi nontunai, serta tingginya angka penduduk yang memiliki ponsel.

(Baca: Bahaya Pandemi Corona di Balik “Tembok” Korea Utara)

Pelacakan tetap dilakukan secara agresif meskipun tes gratis tersedia di banyak tempat. Sebab, banyak orang  yang terinfeksi corona dengan gejala ringan sehingga tidak melakukan tes.

Dikutip dari Reuters, orang yang datang dari beberapa kawasan seperti Eropa dan Amerika diwajibkan menjalani tes corona dan karantina selama 14 hari. Warga asing yang melanggar ketentuan karantina terancam dideportasi. Sedangkan warga lokal terancam hukuman penjara dan denda.

Dikutip dari The Conversation, negara ini telah belajar dari wabah MERS pada 2015 dengan memperbaiki sistem pengendalian penyakitnya. Korea Selatan memiliki sistem pelayanan kesehatan dengan kapasitas besar dan industri bioteknologi yang canggih sehingga mampu memproduksi alat tes dengan cepat. Alhasil, negara tersebut mampu melakukan 15 ribu tes corona per hari.      

Mengacu pada data John Hopkins per 24 April 2020, Negeri Ginseng melaporkan sebanyak 10.708 kasus Covid-19, dengan 240 di antaranya meninggal dan 8.501 sembuh. Jumlah laporan kasus baru semakin turun mulai Maret lalu.

(Baca: Tiga Juta Pasien Corona di Dunia, Beberapa Negara Ini Masih Nol Kasus)

Saat ini, negara tersebut tengah mewaspadai gelombang lanjutan penyebaran corona. Seratusan orang pasien yang sembuh dilaporkan kembali terinfeksi. Pakar kesehatan di negara tersebut sempat mengkhawatirkan potensi gelombang lanjutan seiring penggunaan alat tes dari Tongkok yang dicurigai tak akurat pada masa awal penanganan.

3. Taiwan

Taiwan, yang hanya berjarak sekitar 161 kilometer dari dataran Tiongkok, melaporkan kasus pertama corona pada 21 Januari lalu. Foreign Policy memberitakan, pemerintah Taiwan mengambil langkah cepat setelah mencuatnya berita tentang penyakit misterius di Wuhan.

Pemerintah Taiwan mulai melakukan inspeksi terhadap orang-orang yang datang dari Wuhan mulai 31 Desember 2019, melakukan karantina, membangun sistem pelacakan, dan meningkatkan produksi alat kesehatan mulai Januari. Taiwan belum mengizinkan ekspor barang-barang tersebut, termasuk untuk masker bedah.

Langkah cepat pemerintah Taiwan dinilai terkait dengan pengalaman saat wabah SARS pada 2003 yang juga teridentifikasi pertama kali di Tiongkok. Mengacu pada data John Hopkins per 24 April 2020, Taiwan melaporkan 427 kasus corona, dengan enam di antaranya meninggal dan 253 sembuh. Sejauh ini, jumlah penambahan kasus baru masih naik-turun.

HEALTH-CORONAVIRUS/TAIWAN (ANTARA FOTO/REUTERS/Ann Wang/wsj/cf)

4. Selandia Baru

Pemerintah Selandia Baru mengambil kebijakan agresif untuk menghentikan penyebaran corona di negara berpenduduk 5 juta orang tersebut. Mulai pertengahan Maret, pemerintahnya mengambil strategi eliminasi penyakit bukan lagi mitigasi.  

Dikutip dari The Guardian, strategi eliminasi sangat berbeda dengan mitigasi. Dengan mitigasi, respons meningkat seiring perkembangan pandemi. Intervensi yang lebih ketat seperti penutupan sekolah biasanya dilakukan untuk “melandaikan kurva”. Sedangkan dengan eliminasi, pemerintah menerapkan intervensi yang kuat lebih awal untuk menghentikan transmisi penyakit.

Setelah melakukan pembatasan perjalanan dan pemberlakuan jarak fisik, Selandia Baru memberlakukan penutupan wilayah atau lockdown secara penuh mulai 26 Maret. Sebelum itu, mulai 15 Maret, negara tersebut mewajibkan isolasi diri selama 14 hari untuk semua yang baru tiba di Selandia Baru dan mulai 20 Maret orang asing dilarang memasuki negara tersebut.   

Sejauh ini, strategi tersebut tampak berhasil, meskipun dampak sosial ekonominya akan masif. Mengacu pada data John Hopkins, Selandia Baru melaporkan 1.456 kasus corona, dengan 17 di antaranya meninggal, dan 1.095 sembuh. Jumlah kasus baru telah turun signifikan.

(Baca: Menelusuri Asal Teori Konspirasi 5G dan Corona, Serta Kebenarannya)

The Guardian memberitakan kebanyakan kasus baru merupakan penduduk yang pulang dari melancong dan menjalani karantina di perbatasan. Beberapa klaster penyebaran virus telah ditelusuri sehingga penyebaran lebih jauh bisa dicegah. Penanganan corona di negara ini juga didukung oleh faktor geografis yakni wilayah yang jauh dari negara lain dan penerbangan yang lebih sedikit.

Dikutip dari CNN Internasional, Profesor Michael Baker dari Departemen Kesehatan Publik Otago University -- yang turut memberi saran kepada pemerintah Selandia Baru dalam merespons pandemi -- mengatakan pelajaran yang bisa dipetik dari Selandia Baru adalah kombinasi antara ilmu pengetahuan dan kepemimpinan.

Hingga pekan pertama April, Selandia Baru telah melakukan 51 ribu tes, sedangkan Inggris yang memiliki penduduk 13 kali lebih besar hanya melakukan tes terhadap 208 ribuan orang. Ia pun menyatakan kekecewaan dengan penanganan corona di Amerika Serikat dan Inggris yang dinilai lebih punya sumber daya ilmu pengetahuan.

Di sisi lain, Ahli Mikrobiologi di Auckland University Siauxsie Wiles mengatakan Selandia Baru memang harus mengambil langkah cepat karena keterbatasan kapasitas di rumah-rumah sakit. “Di Selandia Baru kami tidak memiliki banyak tempat tidur di unit gawat darurat dibandingkan dengan negara lain. Maka itu, (Perdana Menteri Jacinda Arden) bereaksi cepat,” kata dia, seperti dikutip CNN internasional.