Jepang Dihantui Stagflasi, Inflasi Grosir Tertinggi dalam Empat Dekade

Pixabay/Sofia Terzoni
Ilustrasi. Inflasi pada harga grosir di Jepang meroket ke level tertinggi dalam 40 tahun terakhir pada Oktober, menunjukkan kenaikan harga-harga di tingkat perusahaan.
Penulis: Abdul Azis Said
Editor: Agustiyanti
12/11/2021, 10.21 WIB

Ini mengindikasikan adanya potensi kenaikan harga-harga di tingkat konsumen sebagai limpahan dari inflasi di sektor grosir.  Stagflasi pun tengah membayangi ekonomi negeri sakura itu. Stagflasi adalah kondisi saat inflasi terus meningkat, tetapi perekonomian stagnan bahkan melambat.

"Dengan meningkatnya beban perusahaan dan rumah tangga, kenaikan harga grosir memiliki dampak negatif yang besar terhadap perekonomian," kata ekonom di Daiwa Securities Toru Suehiro.

Survei Reuters memperkirakan ekonomi Jepang akan terkontraksi 0,8% secara tahunan pada kuartal ketiga 2021. Ini merosot setelah berhasil tumbuh 1,9% pada kuartal sebelumnya. Penurunan konsumen terutama dipengaruhi konsumsi yang diperkirakan terkontraksi 0,5%.

Meski demikian, bank sentral Jepang (BOJ) mencoba menenangkan pasar bahwa stagflasi tampaknya masih jauh. Hal ini karena inflasi di sejumlah negara seperti Eropa dan Amerika Serikat dinilai hanya sesaat. Sementara di Jepang, belum ada tanda-tanda kenaikan harga yang signifikan.

"Jepang mengalami stagflasi pada 1970-an. Ekonomi Jepang merosot karena pandemi tetapi pulih dan inflasi tidak meningkat banyak. Adapun ekonomi AS dan Eropa, inflasi meningkat tetapi kemungkinan bersifat sementara," kata Gubernur BOJ Haruhiko Kuroda dalam konferensi persnya akhir bulan lalu.

Sekalipun inflasi meradang di Cina dan AS, inflasi yang masih rendah mendorong BOJ juga tetap mempertahankan kebijakan moneter longgar. Hal ini sebagai respon terhadap tekanan pandemi yang masih berlangsung, dan akan dipertahankan sampai inflasi konsumen mencapai target 2%.

Halaman:
Reporter: Abdul Azis Said