Abenomics, Warisan Shinzo Abe Selamatkan Jepang dari Jeratan Stagnasi

ANTARA FOTO/REUTERS/Kim Kyung-Hoon/Pool/hp/cf
Kim Kyung-Hoon/Pool Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe berbicara dalam sebuah konferensi pers tentang respon Jepang terhadap penyakit virus korona (COVID-19) di Tokyo, Jepang, Senin (25/5/2020).
8/7/2022, 18.14 WIB

Reformasi Abenomics bertujuan untuk meningkatkan produktivitas dengan memotong birokrasi dan pajak perusahaan, serta memperluas angkatan kerja negara yang menua dengan cepat. Hal itu dilakukan dengan mendorong partisipasi lebih banyak wanita, manula, dan imigran dalam angkatan kerja.

“Kita harus melihat ke masa depan, daripada mengkhawatirkan masa kini. Jepang mungkin menua. Jepang mungkin kehilangan populasinya. Tapi, ini adalah insentif bagi kami,” kata Abe dalam pidato tahun 2016 yang menguraikan visi ekonominya seperti dikutip dari Al-Jazeera.

 Secara umum, Abe, yang mengundurkan diri untuk kedua kalinya pada tahun 2020 dengan alasan kesehatan yang buruk, hanya “setengah berhasil” dalam membalikkan ekonomi terbesar ketiga di dunia itu. Selama masa jabatannya, pertumbuhan ekonomi meningkat dari kelesuan tahun 1990-an dan 2000-an, ekspor meningkat, dan pengangguran turun ke level terendah dalam beberapa dekade.

Antara 2015 dan 2017, Jepang mencatat pertumbuhan positif delapan kuartal berturut-turut. Ini merupakan rekor terpanjang dalam hampir 30 tahun.

Namun dibandingkan dengan dekade ekspansi setelah Perang Dunia II dan kinerja banyak negara sejenis, ekonomi Jepang gagal mengesankan.

Menurut ekonom, Kaya Keiichi, pertumbuhan PDB riil Jepang rata-rata hanya 0,9 persen selama hampir delapan tahun jabatan kedua Abe sebagai perdana Menteri. Target ambisius Abe untuk meningkatkan PDB menjadi 600 triliun yen pada tahun 2020, tidak pernah terwujud dan tetap tidak terpenuhi hingga hari ini. Selain itu, inflasi dan pertumbuhan upah di bawah ekspektasi, sehingga menghambat pencapaian ekonomi yang dicapai.

Ekonom senior untuk Korea Selatan dan Jepang, Min Joo Kang , mengatakan kebijakan Abe dapat menciptakan ekosistem untuk reformasi dan inovasi oleh pelaku pasar sampai batas tertentu. Namun demikian, perbaikan ekonomi riil terbatas.

“Saya pikir itu setengah sukses karena melindungi ekonomi Jepang dari penurunan tajam,” ujarnya.

 Analis pasar senior untuk Asia Pasifik di OANDA, Jeffrey Halley, mengatakan bahwa Abenomics telah menghasilkan "hasil yang beragam". Menurut dia, kebijakan belum mencapai arah yang ketiga.

“Inflasi masih belum ada, utang pemerintah jauh lebih tinggi, dan hambatan perdagangan serta tata kelola perusahaan Jepang tetap seperti sebelumnya. Kurangnya kemajuan bukan karena Abe salah secara strategis, melainkan kegagalannya untuk mengatasi kepentingan domestik yang mengakar dan kelambanan pemerintah untuk sepenuhnya merangkul dan mengeksekusi semua arah kebijakan,” ujarnya.

Sementara itu, laporan survei Indonesia Poll 2021 yang dirilis lembaga riset asal Australia Lowy Institute pada awal 2022 menunjukkan bahwa mayoritas warga Indonesia menilai bahwa pembangunan ekonomi tanah air harus mencontoh Jepang. Menurut survei tersebut, lebih dari seperempat atau 26% responden memilih Jepang sebagai model pembangunan ekonomi Indonesia di masa depan.

Halaman: