Satuan Petugas (Satgas) 115 yang terdiri dari Kementerian Kelautan Perikanan (KKP), Angkatan Laut Tentara Nasional Indonesia, dan Kepolisian Republik Indonesia mengamankan kapal ikan STS-50 yang menjadi buronan International Police (Interpol). Kapal STS-50 diduga telah melakukan kejahatan lintas negara secara terorganisir (transnational organized fisheries crime).
Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menyatakan Kapal Angkatan Laut Simeuleu melakukan operasi pada 6 April 2018 ketika STS-50 berada sekitar 60 mil dari sisi Tenggara Pulau Weh, Aceh. “Penangkapan Kapal STS-50 oleh Pemerintah Indonesia telah dilakukan berdasarkan ketentuan hukum internasional,” kata Susi dalam keterangan resmi, akhir pekan lalu.
Kapal STS-50 membawa 600 buah alat tangkap gillney sepanjang 50 meter dengan total panjang alat tangkap bila dibentangkan panjangnya bisa mencapai 30 kilometer. Jenis ikan yang menjadi target STS-50 adalah Antarctic Toothfish.
Berdasarkan dokumen Lloyd’s List Intelligence, STS-50 terdaftar dimiliki oleh Marine Fisheries Corporation Company Ltd dan Jiho Shipping Company Limited sebagai pemilik tergabung. Sebelum itu, STS-50 terdaftar dimiliki oleh Red Star Company Ltd, Dongwon Industries Company Ltd, STD Fisheries Company Ltd, dan Suntai International Fishing Company.
Kapal STS-50 merupakan kapal tanpa bendera kebangsaan, namun dalam kegiatan operasinya diketahui kerap menggunakan 8 bendera negara, yaitu Sierra Leone, Togo, Kamboja, Korea Selatan, Jepang, Mikronesia, Filipina, dan Namibia. “Selain melakukan illegal fishing, kapal STS-50 diduga melakukan pemalsuan dokumen kebangsaan kapal untuk menghindari pengawasan dan penegakan hukum,” ujar Susi.
(Baca : Setop Penenggelaman Kapal, Kalla: Ada Protes dari Negara Lain)
Pemerintah Togo juga berupaya membawa Nakhoda STS-50 ke pengadilan atas dasar dugaan pemalsuan dokumen dan pemalsuan identitas. Kapal STS-50 juga pernah ditangkap oleh Tiongkok pada 22 Oktober 2017 dan Mozambik pada 18 Februari 2018, namun berhasil kabur.