Gelombang Virus Corona di Antara Minimnya Fasilitas dan Tenaga Medis

ANTARA FOTO/Nyoman Hendra Wibowo/nym/aww.
Tim medis Dinas Kesehatan Kabupaten Tabanan melakukan test cepat Covid-19 terhadap sejumlah santri yang baru tiba di Terminal Pesiapan, Tabanan, Bali, Jumat (3/4/2020).
Penulis: Muchamad Nafi
6/4/2020, 07.00 WIB

Setiap hari orang yang terkonfirmasi virus corona bertambah besar di Tanah Air. Hampir dua pekan terakhir jumlahnya tak pernah melandai dari 100 kasus per hari. Rumah sakit rujukan pun kebanjiran pasien positif Covid-19, termasuk mereka yang masuk kategori pasien dalam pengawasan (ODP).

Juru bicara penanganan nasional Covid-19 Achmad Yurianto di kantor Badan Nasional Penanggulangan Bencana kemarin mengumumkan ada 181 kasus positif virus corona baru, sehingga totalnya mencapai 2.273 orang. Jumlah tersebut merupakan pertambahan harian terbanyak kedua setelah pada Jumat kemarin orang yang terkonfirmasi Covid-19 mencapai 196.

Dari total kasus, 14 pasien dinyatakan sembuh kembali -sehingga seluruhnya 164 orang- dan tujuh pasien meninggal -total jenderal 198 jiwa. Menurut Yuri, kondisi ini menunjukkan masih terjadi penularan dengan banyak kasus positif tanpa gejala di tengah-tengah masyarakat.

Grafik Databoks di bawah ini memperlihatkan virus corona menjangkiti di atas 100 orang per hari selama 13 hari terakhir.  (Baca: Positif Corona RI Naik jadi 2.273 Kasus, Pasien Sembuh Capai 164 Orang)

Hingga kini, pemerintah telah menggelar pemeriksaan Covid-19 kepada 9.217 warga untuk menekan penyebaran penyakit tersebut. “Sebagian dari kita juga tidak menyadari rentan sehingga belum jaga jarak, belum menggunakan masker, ada yang belum rajin cuci tangan,” kata Yuri.

Ramalan Lonjakan Kasus Virus Corona dalam Beberapa Bulan

Layaknya pendakian sebuah gunung, kenaikan kasus corona masih jauh dari puncaknya sejak pertama kali Presiden Joko Widodo mengumumkan pasien pertama pada 2 Maret lalu. Belum ada yang tahu waktu puncaknya dan berapa jumlahnya. Namun beberapa lembaga memprediksi ledakan besar virus corona mulai pertengahan bulan ini hingga dua-tiga bulan ke depan.

Pusat Pemodelan Matematika dan Simulasi Institut Teknologi Bandung, misalnya, meramal ujung epidemi corona di Indonesia pada akhir Mei nanti. Peneliti ITB Nuning Nuraini dan dua rekannya meramalkan puncak penyebarannya pada pertengahan hingga akhir April.

Berdasarkan riset yang dimutakhirkan, kasus corona di Indonesia diperkirakan 60 ribu dengan mengacu jumlah pasien hingga 18 Maret lalu. Sebelumnya, mereka memprediksi angka orang yang terinfeksi hanya 8.000 dan kemungkinan mereda pada pertengahan April 2020. Dasar simulasi di Indonesia menggunakan model penyebaran wabah yang terjadi di Korea Selatan dengan kurva Richard.

(Baca: Positif Corona Melonjak, Singapura Tutup Sekolah dan Kantor Satu Bulan)

Sementara itu, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia memproyeksikan hampir 2,5 juta orang di Indonesia terjangkit virus corona pada hari ke-77 penyebaran. Hal ini jika pemerintah tak melakukan intervensi secara serius. Dari jumlah itu, 240.244 pasien diperkirakan meninggal.

Namun dengan intervensi serius pemerintah, jumlah kasus diperkirakan sekitar 600 ribu jiwa pada hari ke-98 dengan angka kematian 11.898 orang pada hari ke-100. Kasus baru tertinggi sekitar 70 ribu pada hari ke-80. Tim FKM UI menggunakan asumsi bahwa setiap satu kasus positif corona menginfeksi setidaknya dua orang dengan penggandaan kasus selang empat hari. Lihat grafik Databoks berikut:

Beberapa lembaga luar negeri juga menyoroti perkembangan di Indonesia, satu di antaranya Centre for Mathematical Modelling of Infectious Diseases (CMMID). Pusat pemodelan yang berbasis di London itu membuat kalkulasi dalam beberapa pekan akan terjadi ledakan besar. Mereka menilai total kasus virus corona yang dilaporkan di Indonesia baru 4,5 %.

Pertengahan pekan lalu, persentase ini jadi yang paling rendah dibandingkan negara-negara lain dalam hitungan mereka. Di atas Indonesia, ada Spanyol, Algeria, dan Italia di kisaran 5 %. CMMID terus memperbarui perhitungannya atas persentase total kasus Covid-19 di sejumlah negara.

Ramalan yang mencemaskan ini bisa jadi lantaran Indonesia menjadi negara dengan kerentanan kedua tertinggi di dunia selama penyebaran pandemi virus corona (Covid-19). Pada akhir Maret kemarin, skor Indonesia 8,87, sedikit lebih rendah dari Italia di posisi pertama dengan skor 10,84. Spanyol dan Irak menyusul dengan tingkat risiko masing-masing 8,28 dan 7,68.

Selain itu, tingkat kematian di Indonesia juga lebih tinggi daripada yang sembuh. Tingkat kematiannya bergerak dengan cepat mulai 3 % saat awal-awal kasus ini mulai menjalan di Tanah Air hingga di atas 8 %, sedangkan yang sembuh hanya sekitar 7 %.

Kemarin, pasien yang meninggal bertambah tujuh orang, sehingga Covid-19 secara keseluruhan telah memakan 198 korban. Rasio kematiannya mencapai 8,7%. Sementara pasien yang sembuh bertambah 14 orang, sehingga totalnya 164 jiwa dengan rasio 7,2 %, jumlah yang cukup menggembirakan lantaran hari-hari sebelumnya sekitar 5 %.

Tim ahli epidemiologi FKM Universitas Indonesia dalam Covid-19 Modelling Scenarios Indonesia memprediksi jumlah kematian akan bertambah besar. Angkanya bergantung langkah pemerintah, mulai dari tanpa intervensi hingga intervensi tinggi. Tanpa intervensi, corona bisa merenggut 240.244 jiwa. Sedangkan intervensi rendah dan sedang, secara berurutan menimbulkan 144.266 dan 47.984 kematian.

(Baca: Corona Mewabah, Pemakaman Maret 2020 di Jakarta Melonjak 78%)

Menurut mereka ketika membuat pemodelan, pemerintah baru dalam intervensi rendah berupa pembatasan sosial dengan cakupan rendah. Apabila pemerintah berhasil melakukan intervensi tinggi, jumlah pasien meninggal dapat ditekan menjadi 11.898 kematian. Angka-angka tersebut belum memperhitungkan intervensi medis dan obat.

Minim Fasilitas dan Tenaga Medis dalam Menghadapi Serangan Virus Corona

Virus corona telah menjalar ke pelosok nusantara seiring pergerakan orang, terutama dari DKI Jakarta yang menjadi episentrum penyakit ini. Sayangnya, infrastruktur dan sumber daya yang dikendalikan pemerintah begitu terbatas.

Sebagai conotoh, pasien positif virus corona yang mengalami gejala berat memerlukan perawatan intensif dengan peralatan dan pemantauan secara berkala. Alat kesehatan yang diperlukan seperti ventilator atau alat bantu pernapasan yang terdapat di ruang intensive care unit (ICU).

Namun, tempat tidur yang ditujukan untuk merawat pasien kritis tidaklah banyak. Jurnal “Critical Care Bed Capacity in Asian Countries and Regions” mencatat Indonesia hanya memiliki kurang lebih tiga tempat tidur ICU untuk 100 ribu penduduk, lebih rendah dari Brunei Darussalam, Singapura, Thailand, dan Malaysia.

(Baca: Asosiasi RS Swasta Anggap 360 RS Rujukan Corona Masih Kurang)

Sementara, jumlah dokter di Indonesia terendah kedua di Asia Tenggara, yaitu 0,4 dokter per 1.000 penduduk. Artinya, Indonesia hanya memiliki empat dokter yang melayani 10.000 penduduk. Jumlah ini jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan Singapura yang memiliki dua dokter per 1.000 penduduk.

Tak hanya itu, tenaga kesehatan lainnya terbatas. Ketersediaan perawat dan bidan Indonesia berada di posisi terburuk di antara negara lainnya. Rasio perawat per 1.000 penduduk sebesar 2,1 yang berarti dua orang melayani 1.000 penduduk.

Di luar masalah ini, problem lain masih menghantui hingga sekarang, yakni terkait ketersediaan alat pelindung diri (APD) seperti masker jenis bedah dan N95 serta pakaian hazmat. Sejumlah rumah sakit, begitu juga para petugas kesehatan, berteriak kekurangan.

(Baca: Pemerintah Sebar 7.000 APD dan 150 Ribu Masker ke Tenaga Medis Corona)

Bahkan, para tenaga medis sempat mengancam tak akan menangani pasien virus corona bila tak ada APD.Mereka berasal dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Pengurus Besar Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PB PDGI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), dan Ikatan Apoteker Indonesia (IAI).

Perlu Pemeriksaan Massal Tes Virus Corona

Selain campur tangan pemerintah dalam membatasi pergerakan orang melalui imbauan social distancing -kini sebagian daerah bisa memasuki pembatasan sosial berskala besar (PSBB)- intervensi medis dan obat perlu dilakukan. Salah satu langkahnya dengan menggelar pemeriksaan secara besar dan cepat melalui rapid tes.

Lagi-lagi, dalam hal ini pemerintah Indonesia juga masih jauh tertinggal. Hingga Kamis kemarin, Indonesia baru melakukan tes virus corona terhadap 25 orang per satu juta penduduk, paling rendah dibandingkan sejumlah negara di Asia. Walau tak jauh berbeda, India dan Filipina sudah memeriksa 35 orang dan 40 orang per satu juta penduduk.

(Baca: Filipina Uji Coba Penyembuhan Pasien Corona dengan Minyak Kelapa Murni)

Korea Selatan merupakan contoh negara yang memeriksa orang dalam jumlah besar, sekitar 8,2 ribu per satu juta penduduk. Pemerintah setempat memberikan akses yang mudah bagi masyarakat untuk memeriksakan diri melalui tes gratis. Prosesnya pun hanya 10 menit. Negara lain yang memiliki rasio tes virus corona tinggi yakni Singapura (6,7 ribu orang), Taiwan (1,4 ribu), dan Malaysia (1,3 ribu).

Di dunia, pemerintah Amerika Serikat telah memeriksa sekitar 1,2 juta orang terkait virus corona. Sebanyak 215,3 ribu orang di antaranya dinyatakan positif. Sementara Italia dan Rusia melakukan pemeriksaan Covid-19 terhadap penduduknya di kisaran 500 ribu orang, serta Australia dan Uni Emirat Arab sekitar 200 ribu orang.

Karena itu pemerintah Indonesia bakal menambah fasilitas pengujian spesimen Covid-19. Achmad Yurianto mengatakan Kementerian Kesehatan telah menunjuk 48 laboratorium yang beroperasi dengan kapasitasnya masing-masing. Seluruh fasilitas tersebut baru mampu memeriksa 7.621 spesimen. 

Namun Yurianto, yang juga Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan, tidak menyebutkan berapa laboratorium lagi yang siap berpartisipasi. Dia hanya meyakinkan pemerintah akan mengaktifkan beberapa alat tes cepat molekuler (TCM) yang awalnya digunakan mendeteksi TBC.

Reporter: Ameidyo Daud Nasution, Antara