Insentif Pajak Masuk Perppu Corona, Diduga Ada Penumpang Gelap Omnibus

ANTARA FOTO/Asep Fathulrahman/hp.
Penulis: Rizky Alika
4/4/2020, 14.33 WIB

Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) 1 Tahun 2020 untuk menangani virus corona atau Covid-19 dan dampaknya terhadap ekonomi. Kolegium Jurist Institute (KJI) menduga ada penumpang gelap dalam penerbitan Perppu tersebut, karena pemerintah menyelipkan poin dalam beleid Omnibus Law Perpajakan.

Poin omnibus law yang dimasukkan ke dalam Perppu tersebut ialah penurunan tarif Pajak Penghasilan (PPh) badan dari 25% menjadi 22% pada 2020 dan 2021. Kemudian, PPh badan turun menjadi 20% pada 2023.

Sebagaimana diketahui, penurunan tarif PPh badan awalnya direncanakan melalui penerbitan Omnibus Law Perpajakan. Draf aturan tersebut telah diserahkan kepada DPR pada Februari lalu. 

(Baca: DJP Pastikan Pajak Perusahaan Turun Jadi 22% Tahun ini)

"Jangan-jangan ada penumpang gelap. Perppu ini semangatnya mengatasi corona, tapi diikutsertakan kepentingan lain, seperti omnibus law," kata Direktur Eksekutif KJI Ahmad Redi dalam KJI Webinar 2020, Sabtu (4/4). Semestinya, Perppu tersebut hanya memuat upaya menekan penyebaran corona.

Ia mengatakan, Perppu bisa diterbitkan dalam kondisi kegentingan yang memaksa. Hal ini sesuai dengan Pasal 22 UUD 1945 yang menyebutkan, dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang.

Sementara itu, Perppu 1/2020 memiliki materi muatan tentang virus corona, kebijakan keuangan negara, dan stabilitas sitem keuangan untuk tanggulangi corona. Ahmad menilai, indikator genting yang memaksa hanya sesuai untuk muatan materi corona.

(Baca: Penerbitan Perppu Dikhawatirkan Akan Perbesar Beban Utang Negara)

Sedangkan, materi keuangan negara dinilai tidak mengalami kegentingan. Hal ini dilihat berdasarkan kondisi cadangan devisa Indonesia pada akhir Februari sebesar US$ 130,4 miliar atau setara dengan pembiayaan 7,7 bulan impor.

Dari sisi stabilitas keuangan, ia menilai tidak ada kondisi kegentingan yang memaksa. Ahmad justru mengkhawatirkan pengaturan stabilitas keuangan tersebut dapat memicu masalah seperti kasus bailout Bank Century.

"Jadi muatan materi stabilitas keuangan dan kebijakan keuangan negara tidak memenuhi indikator kegentingan yang memaksa," ujar dia.

Halaman: