Di masa akhir bakti September ini, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) begitu cepat menyelesaikan tugas legislasinya. Tiga aturan diketok di rapat kerja hingga paripurna: revisi Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Pemasyarakatan, dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Sayang, semua kontroversial. Sebagian publik menilai aturan ini sebagai upaya melemahkan pemberantasan korupsi dan meringankan hukuman koruptor.
Revisi Undang-Undang KPK
Sidang paripurna DPR mengesahkan revisi undang-undang ini pada Selasa (17/9) kemarin. Padahal, revisi aturan tersebut tak masuk dalam Program Legislasi Nasional 2019 yang telah disepakati pemerintah dan DPR.
Pembahasan maraton dimulai setelah Presiden Joko Widodo mengirim surat pada Rabu (11/9) pagi. DPR dan pemerintah lalu menggelar rapat pertama pada Kamis (12/9) malam. Pembahasan dilanjutkan pada Jumat (13/9) dan Senin (16/9) malam lalu disahkan keesokan harinya.
UU KPK dikritik banyak pihak, salah satunya, karena terkait Dewan Pengawas. Peneliti ICW Tama Satya Langkun menilai KPK sudah memiliki Direktorat Pengawasan Internal dan dewan penasihat. Lima pimpinan KPK pun bertugas dengan sistem kolektif kolegial untuk saling mengawasi. Bila pimpinan melanggar bisa dibentuk majelis kode etik untuk memprosesnya.
(Baca: Audiensi Tolak RUU KPK & RKUHP, Mahasiswa Kecewa Ditemui Sekjen DPR)
Kontroversi Dewan Pengawas juga lantaran pemilihannya dilakukan oleh Presiden. Terkait hal ini, tiga fraksi di DPR mengkritiknya, yakni Gerindra, PKS, dan Demokrat. Ketua Fraksi Gerindra di DPR Edhy Prabowo keberatan lantaran ada potensi penyalahgunaan wewenang Dewan Pengawas.
Sementara anggota DPR Fraksi PKS Ledia Hanifa mengatakan pemilihan anggota Dewan Pengawas oleh Presiden tidak sesuai dengan semangat menjadikan KPK bebas dari intervensi. Poin lain yang ia kritik terkait perlunya izin Dewan Pengawas ketika KPK menyadap. Bagi Ledia prosedur ini bakal melemahkan komisi antirasuah.
Kepala Perancangan Peraturan dan Produk Hukum KPK Rasamala Aritonang pun menilai aneh keharusan meminta izin penyadapan kepada Dewan Pengawas. Apalagi proses ini hanya berlaku bagi KPK, sementara kepolisian dan kejaksaan tidak demikian. “Kalau mau diatur, harus diatur sama,” kata Rasamala beberapa waktu lalu.
(Baca: Tolak UU KPK, Banyak Akademisi & Koalisi akan Ajukan Uji Materi ke MK)
Poin kontroversial lainnya karena KPK diberikan wewenang untuk menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi menilai kewenangan penerbitan SP3 akan membebaskan banyak tersangka yang pengusutan kasus korupsinya membutuhkan waktu lama, seperti di sektor migas.
Hal lain yang dipersoalkan terkait status para pegawai KPK yang menjadi aparatur sipil negara (ASN). Hal ini dapat mengganggu independensi para pegawai KPK ketika mengusut perkara. Terlebih, jika mereka menangani pejabat negara yang statusnya lebih tinggi.
Revisi Undang-Undang Pemasyarakatan
Revisi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan bakal dibawa ke sidang paripurna setelah disepakati oleh DPR dan pemerintah dalam rapat kerja pada Selasa (17/9) malam. RUU Pemasyarakatan banyak dikritik karena menghapuskan Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.
Dalam Peraturan Pemerintah tersebut terdapat syarat bahwa koruptor harus menjadi justice collaborator untuk pembebasan bersyarat dan remisi. Hilangnya aturan ini berarti koruptor tak memerlukan rekomendasi penegak hukum untuk pembebasan bersyarat dan remisi, namun dikembalikan ke pengadilan.
Pakar Hukum dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menilai RUU Pemasyarakatan seolah membuat tindak pidana korupsi seperti tindak pidana umum. Padahal, tindak pidana korupsi merupakan bentuk kejahatan luar biasa. “Dulu kenapa remisi diperketat, supaya orang jera terhadap korupsi,” kata Fickar.
Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Aturan ketiga yang meringankan hukuman koruptor yakni revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Revisinya disepakati DPR dan pemerintah dalam rapat kerja pada Rabu (18/9) untuk dibawa ke sidang paripurna.
Setidaknya ada tiga pasal pidana dan denda bagi koruptor yang lebih ringan dalam revisi KUHP ketimbang UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Ketiga pasal itu yakni 604, 605, dan 607 ayat (2).
Dalam Pasal 604 revisi KUHP, denda bagi seseorang yang memperkaya diri serta merugikan keuangan negara paling sedikit Rp 10 juta. Padahal, Pasal 2 UU Tipikor menetapkan denda bagi orang yang memperkaya diri serta merugikan keuangan negara paling sedikit Rp 200 juta.
Sementara di Pasal 605 revisi KUHP, denda bagi seseorang yang menyalahgunakan wewenang dan merugikan keuangan negara paling sedikit Rp 10 juta. Padahal, Pasal 3 UU Tipikor menetapkan denda bagi seseorang yang menyalahgunakan wewenang dan merugikan keuangan negara paling sedikit Rp 50 juta.
(Baca: DPR Akui Pengaturan Sanksi Pidana dalam RKUHP Belum Sempurna)
Adapun Pasal 607 ayat (2) revisi KUHP menyebutkan pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima suap dipidana paling lama empat tahun dan denda paling banyak Rp 200 juta. Padahal dalam Pasal 11 UU Tipikor, pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima suap paling lama lima tahun. Adapun denda bagi mereka paling banyak Rp 250 juta.
Pakar hukum pidana Universitas Parahyangan Agustinus Pohan menilai ketiga pasal dalam RKUHP itu rentan disalahgunakan untuk membela koruptor karena akan memunculkan duplikasi dengan sanksi pidana dan denda dalam UU Tipikor. Sehingga penegak hukum memiliki pilihan dalam memberikan sanksi . “Ini bisa membingungkan dan rentan penyalahgunaan agar pidana dan denda koruptor diringankan,” ujar Agustinus.