Soal UU KPK, Wiranto Tepis Tudingan Pemerintah Jokowi Dukung Korupsi

ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A
ilustrasi Menko Polhukam Wiranto. Mantan Panglima TNI ini menepis tudingan pemerintah Presiden Joko Widodo mendukung praktik korupsi di Indonesia.
Penulis: Fahmi Ramadhan
Editor: Ekarina
18/9/2019, 20.19 WIB

Menteri Koordinator Politik Hukum dan Ham (Menko Polhukam) Wiranto menepis tudingan pemerintah Presiden Joko Widodo mendukung praktik korupsi di Indonesia. Hal ini diungkapkannya seiring banyaknya tudingan yang menyebut Jokowi tidak serius menangani korupsi dengan menyetujui revisi Undang Undang nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

"Jangan curigai pemerintah, pada Presiden yang seakan akan ingkar janji dan seakan beliau tidak pro pada pemberantasan korupsi. Kita hilangkan itu," kata Wiranto dalam konferensi pers di Media Center Kemenko Polhukam, Jakarta, Rabu, (18/9). 

Terkait dengan UU KPK dia pun menjelaskan sejumlah poin yang selama ini dianggap kontroversi dan dinilai melemahkan KPK. 

(Baca: Istri Gus Dur Jengkel RUU KPK Disahkan)

Pertama terkait  kelembagaan KPK juga termasuk dalam ranah eksekutif di bawah Presiden. Wiranto menyatakan, meski KPK nantinya berstatus sebagai lembaga eksekutif, kewenangan dan kinerja lembaga antirasuah  itu akan tetap terbebas dari pengaruh kekuasaan manapun.

Kendati demikian, ia beralasan diputuskannya poin tersebut oleh pemerintah dan DPR, karena hal itu sudah tertuang dalam peraturan Mahkamah Konstitusi  nomor 36 PUU/XV/2017.  "Sehingga ini bukan mengada ada, hanya melaksanakan keputusan MK," sebutnya. 

Ia juga menekankan, masyarakat tidak perlu khawatir dengan pemerintahan Jokowi saat ini. Sebab, pada dasarnya trias politika yang ada di Indonesia seharusnya terbagi dalam tiga unsur yakni eksekutif, legislatif dan yudikatif. 

Lebih lanjut, dia juga menjelaskan mengenai kontroversi penetapan Dewan Pengawas dalam tubuh KPK. Wiranto menegaskan bahwa tidak ada satu lembaga pun yang memiliki kekuasaan yang tidak terbatas. "Karena keberadaan Dewan Pengawas di KPK ini untuk memastikan kinerja KPK sesuai dengan UU yang berlaku," sebutnya. 

Mantan Panglima TNI ini mencontohkan keberadaan dewan pengawas dalam tubuh aparat keamanan yang lain seperti Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas). Adanya Kompolnas, kata Wiranto berfungsi untuk mengawasi kinerja kepolisian agar tetap beradaa di jalur yang semestinya. 

Karena itu, dia menilai banyak masyarakat keliru menanggapi beberapa poin yang tercantum pada UU KPK akan memperlemah kinerja lembaga antirusuah ke depan. 

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah sepakat mengesahkan revisi Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK ) lewat rapat Paripurna, Selasa (17/9). Pengesahan UU KPK ini menuai kontroversi karena muncul mendadak dan terburu-buru di masa akhir jabatan DPR periode 2014-2019.

(Baca: Menkumham Ungkap Alasan Pengesahan UU KPK Tanpa Libatkan Pimpinan KPK)

Direktur Eksekutif Indonesian Legal Rountable (ILR) Firmansyah Arifin mengatakan proses revisi UU KPK tersebut memiliki cacat formal. Firman mengatakan rujukan prosedur pembahasan UU mengacu pada UU nomor 12 tahun 2011 tentang pembentukan perundang-undangan.

"Setiap pembentukan peraturan perundang-undangan hendaknya dibuat melalui prosedur atau tahap perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan yang sesuai dengan nilai-nilai demokrasi," kata Firman dalam siaran pers, Selasa (17/9). 

Berpatokan pada aturan tersebut, Firman menyebut 5 cacat formal tersebut, yakni: pertama, tidak memenuhi asas kejelasan tujuan. Kedua, tidak memenuhi asas keterbukaan. Ketiga, tidak ada urgensi nasional. Keempat, tidak ada naskah akademik. Kelima, tidak ada pertisipasi masyarakat.

Reporter: Fahmi Ramadhan