Sudah Ada Mekanisme Internal, KPK Dianggap Tak Perlu Dewan Pengawas

ANTARA FOTO/APRILLIO AKBAR
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo (kiri) bersama Wakil Ketua KPK Saut Situmorang (kanan) bersiap memberikan keterangan pers tentang revisi UU KPK yang akan dilakukan DPR, di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (5/9/2019).
7/9/2019, 17.05 WIB

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menginginkan adanya Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Keinginan tersebut tercantum dalam draf revisi UU KPK. Dewan Pengawas dirancang memiliki peran besar, termasuk memberikan izin penyadapan. Tak ayal, poin ini menuai sorotan, termasuk dari Lembaga Swadaya Masyarakat Indonesia Curruption Watch (ICW).

Peneliti ICW Tama Satya Langkun menilai KPK tidak memerlukan Dewan Pengawas. KPK sudah memiliki Direktorat Pengawasan Internal dan dewan penasihat. Lima pimpinan KPK juga bertugas dengan sistem kolektif kolegial yang membuat adanya saling mengawasi antarpimpinan. Bila pimpinan melakukan pelanggaran bisa dibentuk majelis kode etik untuk memprosesnya.

Di sisi lain, pegawai di internal dinilai berani mengkritik pimpinannya. Dengan sistem pengawasan yang ada tersebut, Tama pun menyebut sudah ada pimpinan yang terkena masalah etika. "KPK dilengkapi dengan mekanisme internal yang menurut saya itu terpakai,” kata dia dalam diskusi 'KPK dan Revisi Undang Undangnya' yang digelar Smart FM Network dan Pollmark, di Jakarta, Sabtu, (7/9).

(Baca: Kesan Buru-buru Revisi UU KPK, Masinton: Memang Kerbau Langsung Setuju)

DPR sepakat menjadikan revisi UU KPK sebagai usulan parlemen, dalam rapat paripurna, Kamis, 5 September 2019 lalu. Terdapat enam poin perubahan substansial yang tercantum dalam draf revisi UU KPK yang dibuat Badan Legislasi DPR. Poin-poin revisi tersebut dianggap banyak pihak, termasuk ICW dan pimpinan KPK, bertujuan melemahkan kerja lembaga antirasuah.

Poin pertama, kedudukan KPK berada pada cabang kekuasaan eksekutif pemerintahan yang tugas dan kewenangannya bersifat independen. Pegawai KPK nantinya berstatus sebagai aparatur sipil negara yang tunduk pada peraturan perundang-undangan terkait.

Kedua, KPK dalam menjalankan tugas dan kewenangannya dapat melakukan penyadapan namun baru bisa dilakukan setelah mendapat izin dari Dewan Pengawas. Ketiga, KPK harus bersinergi dengan penegak hukum lainnya sesuai hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia.

(Baca: Kongsi Besar yang Berupaya Membonsai KPK)

Keempat, tugas KPK dalam pencegahan akan ditingkatkan. Alhasil, setiap instansi, kementerian, dan lembaga wajib menyelenggarakan pengelolaan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) sebelum dan sesudah masa jabatan.

Kelima, KPK dalam menjalankan tugas dan wewenangnya diawasi oleh Dewan Pengawas yang berjumlah lima orang. Dewan Pengawas KPK dalam menjalankan tugas dan wewenangnya nantinya dibantu oleh organ pelaksana pengawas.

Keenam, KPK nantinya berwenang menghentikan penyidikan dan penuntutan perkara korupsi yang tidak selesai dalam jangka waktu satu tahun. Penghentian penyidikan dan penuntutan tersebut harus dilaporkan kepada Dewan Pengawas dan diumumkan kepada publik.