Upaya melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terjadi lagi. Dalam rapat paripurna kemarin, Kamis (5/9), seluruh fraksi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyetujui usulan revisi Undang-Undang (UU) Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK menjadi rancangan undang-undang (RUU).

Proses pengambilan keputusannya hanya memakan waktu lima menit. Pendapat setiap fraksi yang biasanya disampaikan secara lisan, kali itu hanya diserahkan secara tertulis ke pimpinan DPR.

Hal ini membuat publik kaget sekaligus bingung. Revisi undang-undang itu tidak masuk dalam rencana pembahasan Badan Legislasi (Baleg) DPR dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Bahkan tak masuk pula dalam RUU Prolegnas Prioritas 2019.

Tiba-tiba dalam rapat pleno tertutup Baleg yang digelar pada Selasa 3 September 2019 malam, semua fraksi menyetujui untuk merevisi UU KPK. Usulan itu kemudian dibawa ke rapat paripurna untuk disepakati sebagai RUU inisiatif DPR.

Padahal, revisi UU itu sempat mati suri selama dua tahun. Pada 2017 pembahasannya terhenti karena terjadi banyak penolakan dari berbagai elemen masyarakat.

(Baca: Kontroversi Revisi UU KPK oleh DPR, Apa Kata Jokowi)

Paling tidak ada sembilan hal kontroversial dalam revisi UU itu dan tidak sesuai dengan semangat independensi KPK. Tapi ternyata tak ada koreksi, pasal-pasal itu malah muncul kembali.

RUU ini sangat berisiko melumpuhkan kerja komisi antirasuah. "Kami harus menyampaikan kepada publik bahwa saat ini KPK berada di ujung tanduk," kata Ketua KPK Agus Rahardjo semalam.

Penggiat antikorupsi pun sependapat dengan hal itu. "Upaya ini bisa dilihat sebagai langkah jahat yang terkonsolidasi untuk memperlemah KPK secara institusi," ujar Koordinator Divisi Politik ICW Donal Fariz.

Transparency International Indonesia (TII) menilai revisi UU KPK merupakan bukti nyata DPR mengabaikan fakta negara ini masih berada di 30% negara terkorup di dunia. Apalagi, dalam empat tahun terakhir, upaya pemberantasan korupsi Indonesia cenderung stagnan.

Hal tersebut tercermin dalam tren Indeks Persepsi Korupsi yang selalu mendapat skor tak lebih dari 40 sejak 2015. “Skor ini masih jauh dari target 50 di 2019 yang digagas pemerintah bersama KPK,” kata Sekretaris Jenderal TII Dadang Trisasongko dalam keterangan persnya.

Faktor utama stagnasi itu karena maraknya korupsi dalam sistem politik, melalui jual beli suara, politik uang, akleptokrasi, dan praktik suap dalam sektor bisnis.

Poin-Poin Kontroversial dalam RUU KPK

Dalam konferensi pers semalam, Agus menyebutkan ada sembilan poin dalam RUU KPK yang berpotensi melemahkan komisi antirasuah. Pertama, independesi KPK terancam karena akan dijadikan lembaga pemerintah pusat. Pegawai KPK dimasukkan dalam kategori aparatur sipil negara (ASN).

Kedua, penyadapan dipersulit karena hanya dapat dilakukan setelah mendapat izin Dewan Pengawas. Penyadapan juga diberikan batas waktu tiga bulan. Padahal, dalam menangani kasus korupsi yang canggih KPK butuh waktu yang lebih lama.

Ketiga, Dewan Pengawas KPK dipilih oleh DPR. Hal ini menambah panjang birokrasi. Tak hanya penyadapan, bahkan penggeledahan dan penyitaan juga harus melalui persetujuan Dewan Pengawas.

Keempat, sumber penyelidik dan penyidik dibatasi. Penyelidik KPK hanya boleh dari Polri. Sedangkan penyidiknya berasal dari Polri dan pejabat pegawai negeri sipil (PPNS). Padahal, hal ini bertentangan dengan keputusan Mahkamah Konstitusi yang memperkuat dasar hukum bagi KPK untuk mengangkat penyelidik dan penyidik sendiri.

Sebagai referensi, Agus mengatakan, beberapa negara di dunia menerapkan proses rekrutmen terbuka bagi penyidik lembaga antirasuahnya. Misalnya, CPIB di Singapura, ICAC di Hongkong, MACC di Malaysia, dan Anticorruption Commision di Timor Leste.

Kelima, penuntutan perkara korupsi harus koordinasi dengan Kejaksaan Agung. Poin ini dalam RUU KPK juga berisiko mereduksi independensi KPK. Banyaknya prosedur yang harus ditempuh akan semakin memperlambat penanganan perkara.

(Baca: YLBHI Sebut KPK Tengah Dilemahkan lewat Dua Cara)

Keenam, perkara yang mendapat perhatian masyarakat tidak lagi menjadi kriteria. Padahal, peran masyarakat sangat diperlukan agar pemberantasan korupsi berhasil. Poin ini juga membatasi kewenangan KPK dalam menangani kasus yang meresahkan publik dengan membatasi kerugian negara minimal Rp 1 miliar. Artinya, KPK akan sulit menangani kasus suap.

Ketujuh, kewenangan pengambilalihan perkara di penuntutan dipangkas dan hanya bisa dilakukan untuk proses penyelidikan. Hal ini membuat KPK tidak lagi bisa mengambil alih penuntutan sebagaimana diatur dalam pasal 9 UU KPK.

Kedelapan, beberapa kewenangan strategis penuntutan dihilangkan. Misalnya, soal pelarangan ke luar negeri, meminta keterangan perbankan, menghentikan transaksi keuangan yang terkait korupsi, dan meminta bantuan Polri serta Interpol.

Terakhir, kewenangan KPK untuk mengelola pelaporan dan pemeriksaan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggaraan Negara (LHKPN) dipangkas. Padahal, selama ini KPK telah membangun sistem dan menemukan sejumlah ketidakpatuahn pelaporan harta kekayaan di sejumlah institusi negara.

(Baca: Gerakan Senyap Pelumpuhan KPK di Ujung Masa Kerja DPR)

Revisi di Tengah Seleksi Pimpinan KPK

KPK -- mengutip dari kalimat mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD -- adalah anak kandung reformasi yang paling berhasil melaksanakan tugas dalam memberantas korupsi. Perkataan yang ia ucapkan pada 2015 itu rasanya masih relevan.

Rasanya memang sulit menemukan lembaga negara yang menangani 1.064 perkara korupsi dalam waktu 16 tahun. Jumlah ini terhitung sejak KPK efektif bertugas pada 2003.

Sejak 2002-2018, KPK berhasil menangkap 247 pelaku tindak pidana korupsi (TPK) yang berprofesi sebagai anggota DPR dan DPRD. Dari grafik Databoks berikut ini terlihat pekerjaan ini merupakan yang terbanyak terkena ciduk KPK dibanding yang lainnya. Terbanyak kedua berasal dari sektor swasta.

Pada 2018, KPK juga telah menyetorkan Rp 516,6 miliar sebagai bagian dari penyelamatan uang negara yang masuk dalam realisasi penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Angka ini naik 167,3% dibandingkan tahun sebelumnya.

Secara rinci, PNBP terbesar berasal dari sitaan tindak pidana korupsi (TPK) sebesar Rp 323 miliar atau naik 508,3% dibandingkan 2017. Lalu diikuti oleh uang pengganti TPK sebesar Rp 109,7 miliar dan pos penjualan hasil lelang tindak pidana pencucian uang (TPPU) sebesar RP 43,4 miliar.

Mahfud dalam cuitan di akun Twitternya hari ini sempat menyinggung soal revisi UU KPK yang terkesan mendadak. “Mengapa pembahasannya tidak menunggu DPR baru yang hanya tiga minggu lagi akan dilantik,” katanya.

Dalam prosedur normal, sesuai Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan, setiap RUU yang akan dibahas, dimasukkan dulu dalam Prolegnas. Penetapan program legislasi nasional ini biasanya dilakukan pemerintah dan DPR pada akhir Oktober atau awal November.

Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi) Lucius Karus menangkap adanya kepentingan senyap partai politik merevisi undang-undang ini tanpa berkonsultasi dulu dengan publik. Dugaannya, revisi hanya menjadi alat transaksi partai politik menjelang pergantian anggota DPR. “Ini membuat masa depan demokrasi kita suram,” kata Lucius.

(Baca: DPR Mulai Proses Seleksi dan Pemilihan 10 Capim KPK Pekan Depan)

Yang lebih mengkhawatirkan lagi momen revisi UU ini terjadi di saat DPR juga sedang melakukan pemilihan calon pemimpin KPK. Komisi III DPR bahkan secara terang-terangan mengatakan akan memilih calon pimpinan KPK yang sesuai dengan RUU KPK.

“Diharapkan nanti pimpinan KPK baru bekerja dengan UU baru hasil revisi itu,” kata anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan Arsul Sani di Kompleks Parlemen, Jakarta, Jumat (6/9).

Proses seleksi pimpinan KPK pun sekarang sedang dalam sorotan. Beberapa nama-nama aparat yang lolos tahap seleksi mendapat kritik. Salah satunya, Inspektur Jenderal Polisi Firli Bahuri.

Sebanyak 500 pegawai KPK merasa keberatan dengan Firli dan mewanti-wanti kepada Tim Panitia Seleksi (Pansel) untuk lebih selektif. Firli diduga berulang kali bertemu dengan sejumlah nama yang terlibat dalam kasus yang sedang ditangani KPK.

Restu Jokowi untuk 10 Capim KPK
Restu Jokowi untuk 10 Capim KPK (Katadata)

DPR hakulyakin pembahasan RUU ini akan rampung pada periode keanggotaan dewan legislatif sekarang atau sebelum Oktober 2019. Arsul menyebut ada enam inisiator atau pengusul revisi UU KPK.

Keenam orang ini berada di Baleg dan berasal dari lintas fraksi di DPR. Namun, ia enggan menyebutkan nama-nama pengusul perubahan payung hukum KPK itu. Tak etis, begitu alasannya.

Sepuluh fraksi yang ada di Baleg DPR yakni PDIP, Golkar, Nasdem, PKB, PPP, Hanura, Demokrat, PKS, PAN, dan Gerindra. “Kalau pengusulnya ada enam berarti maksimal ada enam fraksi,” katanya.

(Baca: DPR Menolak Didikte dalam Proses Revisi UU KPK)

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami