Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Dwi Soetjipto menegaskan agar Pertamina segera mengebor sumur dan menerapkan teknologi tingkat lanjut (Enhanced Oil Recovery/EOR ) di Blok Rokan. Upaya tersebut dilakukan untuk menahan penurunan produksi.
Namun hingga kini Pertamina belum menyepakati skema transisi dengan Chevron Pacific Indonesia selaku operator blok tersebut. Dengan begitu, Pertamina belum bisa memulai aktivitas di Blok Rokan.
"Kalau tidak mulai ada aktifitas paling tidak dua tahun ini, nanti penurunan produksi sangat besar. Makanya investasi dalam dua tahun ini harus ada," ujar Dwi saat ditemui di Gedung Kementerian ESDM, Senin (26/8).
Menurut Wakil Kepala SKK Migas Fatar Yani Abdurrahman, Pertamina seharusnya sudah mulai mengebor 70 sumur di Blok Rokan pada Agustus 2019. Makanya Pertamina harus segera menyepakati skema transisi dengan Chevron.
(Baca: Kementerian ESDM Menilai Transisi Produksi Blok Rokan Berjalan Lambat)
Ada beberapa skema transisi untuk Blok Rokan. Pertama, Chevron membayar biaya pengeboran dan Pertamina yang mengerjakan. Kedua, Pertamina yang membayar biaya pengeboran, Chevron yang mengerjakan. Ketiga, Chevron dan Pertamina mengerjakan bersama pengeboran sumur selama masa transisi.
Opsi terakhir, Chevron menjual sebagian sahamnya ke Pertamina sehingga perusahaan plat merah tersebut bisa segera melalukan transisi. "Itu mereka lagi diskusi segala macam opsi tersebut. Targetnya akhir tahun ini sudah deal,"kata Fatar ke Katadata pekan lalu.
Jika akhir tahun ini sudah dicapai kesepakatan, maka Pertamina memiliki 20 bulan untuk melakukan pengeboran. Jumlah sumur yang harus dibor Pertamina untuk mempertahankan produksi Blok Rokan minimal 70 sumur.
"Kalau satu sumur tidak cukup, harus banyak. Rokan sekarang saja hampir 9 ribu sumur, kalau sama dengan produksi harus mengebor 400 sumur," kata Fatar.
(Baca: Pertamina Akan Mengebor Satu Sumur di Blok Rokan Tahun Depan)
Selain melakukan pengeboran, Pertamina juga harus mulai menginjeksi chemical EOR untuk menaikkan produksi Blok Rokan sebesar 400 ribu barel per hari (BOPD) di tahun 2030. Sebab injeksi chemical EOR membutuhkan waktu minimal selama lima tahun.
"Makanya kami dorong, jangan tunggu alih kelola. Begitu sudah deal, EOR-nya harus dipikirkan," kata Fatar.
Di sisi lain, Pendiri ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto menyarakan agar pemilihan skema bisnis antara Pertamina-Chevron mengikuti aturan yang ada. Khususnya mengenai pengembalian biaya investasi dan peraturan tentang pengelolaan blok migas yang kontraknya berakhir.
"Rujukannya paling tidak dua peraturan itu. Dalam hal ini, sebaiknya perlu segera ada kejelasan dan kepastian," ujar Pri Agung kepada Katadata.co.id, Senin (26/8).
Jika diskusi mengenai alih kelola Blok Rokan terus tertunda, dikhawatirkan transisi tidak berjalan dengan mulus. "Produksi bisa makin turun secara drastis karena penurunan produksi terlambat diatasi atau dicegah," ujarnya.
Dikonfimasi secara terpisah, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengatakan hal yang senada. Ia berharap agar negosiasi antara Pertamina dan Chevron dapat rampung dengan cepat.
"Karena ini masalah bisnis, saya kira silahkan diselesaikan Business to Business. Mekanisme dan teknisnya bagaimana internal para pihak, saya kira telah jauh lebih paham," kata Komaidi.
(Baca: Lifting Migas Rendah, Pemerintah Bandingkan Pertamina vs Operator Lama)