Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Direktur Utama PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk periode 2005-2014 Emirsyah Satar sebagai tersangka tindak pidana pencucian uang (TPPU) kemarin, Rabu (8/8).
Berompi oranye, ia keluar dari gedung KPK sekitar pukul 17.31 WIB dan memilih irit bicara. “Silakan tanya ke Pak Luhut (Luhut Pangaribuan, pengacara Emirsyah),” katanya seperti dikutip dari Antara.
Selain Emirsyah, Beneficial Owner Connaught International Pte Ltd Soetikno Soedarjo juga menerima penetapan serupa untuk kasus yang sama. Soetikno keluar lebih awal dan mengenakan pula rompi tahanan. “Mohon doa restunya ya” ucapnya sebelum memasuki mobil tahanan KPK.
Ada pula Direktur Teknik dan Pengelolaan Armada Garuda Indonesia pada 2007-2012, Hadinoto Soedigno, yang juga ditetapkan menjadi tersangka.
Penetapan ini merupakan pengembangan kasus korupsi pengadaan pesawat dan mesin pesawat dari Airbus SAS dan Rolls-Royce untuk Garuda. Pada Januari 2017, Emirsyah menjadi tersangka penerima suap, namun tak sampai ditahan. Ia diduga menerima uang haram dari Soetikno sebesar 1,2 juta euro dan US$ 180 ribu atau setara Rp 20 miliar.
Kemarin, komisi antirasuah langsung menahan laki-laki yang kerap dipanggil Emir itu. Bahkan satu unit apartemen miliknya di Singapura turut disita. “Otoritas penegak hukum di Singapura telah mengamankan satu unit apartemen milik ESA (Emirsyah Satar) dan melakukan pemblokiran atas beberapa rekening bank di sana,” kata Wakil Ketua KPK Laode M Syarif.
(Baca: KPK Usut Puluhan Rekening Bank Luar Negeri di Kasus Rolls-Royce Garuda)
Selain itu, KPK juga telah menyita satu unit rumah milik Emir yang berada di Pondok Indah, Jakarta Selatan. Penyitaan ini bertujuan untuk memaksimalkan pengembalian kerugian negara.
KPK menemukan fakta-fakta yang signifikan bahwa uang suap tidak hanya berasal dari perusahaan Rolls-Royce. “Tapi juga berasal dari pihak pabrikan lain yang mendapatkan proyek di Garuda," kata Syarif.
Untuk program peremajaan pesawat, lanjut Syarif, Emir melakukan beberapa kontrak pembelian dengan empat pabrikan pesawat pada 2008-2013 dengan nilai miliaran dolar AS.
Pertama, kata Syarif, kontrak pembelian mesin Trent seri 700 dan perawatan mesin (Total Care Program) dengan perusahaan Rolls Royce. "Kedua, kata dia, kontrak pembelian pesawat Airbus A330 dan Airbus A320 dengan perusahaan Airbus S.A.S," ucap Syarif.
Ketiga, kontrak pembelian pesawat ATR 72-600 dengan perusahaan Avions de Transport Regional (ATR) dan keempat kontrak pembelian pesawat Bombardier CRJ 1000 dengan perusahaan Bombardier Aerospace Commercial Aircraft.
(Baca: Buntut Kasus Emirsyah, Garuda Gencarkan Renegosiasi dengan Rolls Royce)
Syarif menjelaskan, selaku konsultan bisnis/komersial dari Rolls-Royce, Airbus dan ATR, Soetikno diduga telah menerima komisi dari tiga pabrikan tersebut. "Selain itu, SS juga diduga menerima komisi dari perusahaan Hong Kong bernama Hollingsworth Management Limited International Ltd (HMI) yang menjadi sales representative dari Bombardier," ungkap Syarif.
Pembayaran komisi tersebut, ia melanjutkan, diduga terkait dengan keberhasilan Soetikno dalam membantu tercapainya kontrak antara PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk dengan empat pabrikan tersebut. "SS selanjutnya memberikan sebagian dari komisi tersebut kepada ESA dan HDS sebagai hadiah atas dimenangkannya kontrak oleh empat pabrikan," ujar Syarif.
Adapun rincian pemberian eks Direktur Utama PT Mugi Rekso Abadi (MRA) itu kepada Emir, yaitu Rp 5,79 miliar untuk pembayaran rumah beralamat di Pondok Indah, US$ 680 ribu dan 1,02 juta euro yang dikirim ke rekening perusahaan milik Emirsyah di Singapura, dan 1,2 juta dolar Singapura untuk pelunasan apartemen milik Emirsyah di Singapura.
Lalu, untuk Hadinoto, Soetikno diduga memberi US$ 2,3 juta dan 477 ribu euro yang dikirim ke rekeningnya di Singapura.
(Baca: Uang Pelicin Rolls Royce di 7 Negara)
Kiprah Emir di Garuda
Karier Emir sebenarnya moncer sejak ia bergabung dengan Citibank setelah lulus dari Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Laki-laki kelahiran Jakarta, 28 Juni 1959 itu, lalu sempat bekerja sebagai direktur keuangan Garuda sebelum pindah ke Bank Danamon sebagai wakil direktur utama. Pada 2005, ia kembali ke Garuda dan menempati posisi puncak di maskapai penerbangan pelat merah tersebut.
Selama sembilan tahun memimpin, Garuda seolah mulus tanpa turbulensi. Kinerja Garuda yang berdarah-darah menjadi kinclong di tangannya.
Ketika Emir baru saja menjabat direktur utama, kerugian Garuda mencapai Rp 5 triliun. Perusahaan saat itu berada di ambang kebangkrutan dan utangnya menumpuk.
Emir lalu putar otak, melakukan transformasi internal, membenahi manajemen organisasi, sistem operasional, dan kualitas pelayanan Garuda. Fokus bisnis pun berubah menjadi full service carrier. Padahal ketika itu trennya adalah maskapai berbiaya murah atau low cost carrier.
(Baca: Soetikno Soedarjo di Antara Kasus Emirsyah dan Offshore Leaks)
Strateginya terbukti berhasil. Garuda bisa melewati badai. Dari awalnya akan bangkrut, lalu untung dan masuk dalam aliansi maskapai berkelas dunia lainnya, SkyTeam. Rating pelayannya naik jadi bintang lima dan pada 2014 diizinkan terbang ke Eropa setelah pada 2005 dilarang masuk ke sana.
Kinerja moncer perusahaan dapat terlihat dari grafik Databoks berikut ini.
Pada 2013, Garuda berhasil meraih penghargaan “World’s Best Cabin Crew” mengalahkan pesaing utamanya, Singapore Airlines. Emir juga berani menjadi sponsor resmi klub sepakbola Inggris, Liverpool FC, dengan anggaran promosi terbatas. Tujuannya, untuk menaikkan pamor Garuda di mata internasional.
Di bawah kepemimpinan Emir, Garuda berhasil mencatatkan sahamnya (IPO) di Bursa Efek Indonesia pada Maret 2011. Sayangnya, aksi korporasi ini tak berjalan mulus. Harga sahamnya pada hari pertama perdagangan melorot 17,33% ke Rp 620 per lembar dari harga perdana Rp 750 per lembar saham.
(Baca: Emirsyah Satar: Saya Tidak Korupsi atau Menerima Suap)
Sebelum masa jabatannya berakhir di sana, Emir memilih mengundurkan diri pada 8 Desember 2014. Padahal, hanya kurang empat bulan lagi ia dapat merampungkan tugasnya. Alasannya ketika itu adalah ingin memberikan kesempatan kepada manajemen baru untuk bekerja di awal tahun.
Setelah di Garuda, Emir sempat menjabat Komisaris Independen Bank Danamon. Lalu, ia pindah lagi pada 2015 dengan menjadi Chariman MatahariMall.com.
Sayangnya, rekam jejak ini tercoreng dengan terbongkarnya kasus suap dan tindak pencucian uang yang dilakukan Emir. Sekarang ia terpaksa mendekam di penjara, sambil menunggu ketok palu vonis hakim.