Fenomena Kelelahan Petugas KPPS yang Berujung Kematian

ANTARA FOTO/Andika Wahyu
Anggota KPPS mencatat perolehan suara saat penghitungan suara Pemilu serentak 2019 di TPS 77 Pondok Jaya, Cipayung, Depok, Jawa Barat, Rabu (17/4/2019).
Penulis: Dwi Hadya Jayani
27/4/2019, 09.44 WIB

Pelaksanaan Pemilu 2019 yang berlangsung serentak dalam satu hari menyisakan tragedi. Sebanyak 225 petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) meninggal dunia dan 1.470 orang jatuh sakit. Kelelahan disebut sebagai faktor utama yang menyebabkan kematian para pahlawan Pemilu tersebut.

Menurut data Komisi Pemilihan Umum (KPU), Jawa Barat merupakan provinsi yang mencatat jumlah terbanyak petugas KPPS yang meninggal dunia, yakni 38 orang. Sementara itu, Sulawesi Selatan menjadi provinsi dengan jumlah petugas KPPS terbanyak yang sakit, yakni 191 orang.

Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU), Arief Budiman, mengatakan banyaknya petugas KPPS yang meninggal dan sakit disebabkan kelelahan saat bertugas. Arief menambahkan kelelahan terjadi karena pekerjaan yang diamanahkan ke petugas KPPS terlalu banyak dan berat. Jam kerja yang dijalankan pun tidak menentu. Petugas hampir bekerja selama 24 jam, terutama menjelang pemungutan suara hingga penghitungan suara dilakukan.

(Baca: Kisah Para Pahlawan Pemilu yang Kelelahan hingga Meninggal)

Fenomena Karoshi, Kematian karena Terlalu Banyak Bekerja

Mengapa kelelahan bisa menyebabkan kematian? Petugas KPPS menjalankan pekerjaannya selama hampir 24 jam dan tidak diimbangi dengan istirahat yang cukup. Fenomena ini juga terjadi di beberapa negara, salah satunya di Jepang di mana fenomena ini disebut sebagai Karoshi. Karoshi merupakan kematian yang diakibatkan terlalu banyak bekerja.

Jurnal Acta Neurologica Taiwanica yang berjudul Overwork, Stroke, and Karoshi-death from Overwork menjelaskan stres dan jam kerja berlebihan dapat menyebabkan seseorang meninggal. Laporan pertama mengenai Karoshi terjadi pada 1969, seorang pekerja perusahaan surat kabar di Jepang berusia 29 tahun meninggal mendadak.

Pemeriksaan Kesehatan Petugas KPPS (ANTARA FOTO/MAULANA SURYA)

Jurnal ini juga memaparkan faktor medis yang menyebabkan kematian pada Karoshi. Faktor-faktor medis tersebut adalah perdarahan subarachnoid (subarachnoid hemorrhage), perdarahan dalam otak (hemorrhagia cerebral), strok (cerebral infarction), serangan jantung (myocardical infarction), gagal jantung (heart failure), dan penyebab lainnya. Risiko serangan jantung dan strok merupakan faktor dominan yang menyebabkan seseorang meninggal karena bekerja berlebihan.

Hal ini terjadi pada Ketua KPPS TPS 09 Kelurahan Pisangan Baru, Matraman, Jakarta Timur, Rudi Mulia Prabowo. Seperti dikutip Kumparan, Rudi meninggal akibat terkena serangan jantung setelah kelelahan menjalankan tugasnya. Hal ini terjadi empat hari setelah pencoblosan.

(Baca: Dinilai Terlalu Rumit, Pengamat Minta Desain Pemilu Diubah)

Riset dari University College London menunjukkan adanya hubungan antara bekerja secara berlebihan dan risiko serangan jantung. Hasil dari riset ini memperlihatkan seseorang yang bekerja lebih dari 55 jam per minggu berisiko mengalami serangan jantung sebanyak 13% dan strok sebanyak 33%. Lebih lanjut, studi ini juga menjelaskan keterkaitan antara kelebihan bekerja dan peningkatan hormon stres.

Hormon stres terhadap kesehatan berkaitan dengan dua sistem neuroendocrine. Pertama, sistem adrenomedulla simpatik (sympathetic adrenomedullary system) yang mengeluarkan dua katekolamin (catecholamines), yaitu adrenalin (epinephrine) dan noradrenalin (norepinephrine). Kedua, sistem hipofisis hipotalamus adrenokortikal (hypothalamic pituitary adrenocortical) yang mengeluarkan kortisol (cortisol).

Ketika merespons stres, hormon-hormon ini dengan cepat disekresikan ke dalam aliran darah yang memberikan efek ke sistem kardiovaskular. Maka dari itu, stres karena bekerja berlebihan seringkali memicu risiko serangan jantung.

Anggota KPPS Dirawat karena Kelelahan (ANTARA FOTO/Oky Lukmansyah)

Time mengutip pernyataan dari Alan Yeung, profesor bidang kardiovaskular dari Stanford University School of Medicine, yang menyebutkan stres akibat bekerja berlebihan akan menyebabkan jantung bekerja lebih keras dari biasanya. Psikolog Pamela Anggia Dewi juga mengatakan, tingkat stres yang dialami oleh petugas KPPS tinggi akibat tekanan dari persiapan surat suara hingga pengantaran kotak suara. Kondisi tersebut memunculkan berbagai respons dari tubuh karena dianggap suatu ancaman atas dirinya.

“Misalnya menganggap situasi mengancam, otomatis badan merespons untuk mempersiapkan fisik dalam menghadapi situasi ancaman itu. Sebagai contoh, jantung berdegup kencang, leher, kaki, tangan kaku, hingga migrain," jelas Pamela seperti dikutip Kompas.

(Baca: Ketua DPR hingga Ganjar Sepakat untuk Merevisi Pemilu Serentak)

Stres dan Keinginan untuk Bunuh Diri

Selain itu, tingkat stres yang tinggi dalam bekerja secara berlebihan dapat juga menyebabkan bunuh diri. Menurut data dari Badan Kepolisian Nasional Jepang, terdapat 24.025 orang meninggal karena bunuh diri di Jepang pada 2015. Dari 24.025 orang ini, sebanyak 12% atau 2.159 mengakhiri hidupnya karena kelelahan menyelesaikan banyak pekerjaan.

Fenomena bunuh diri ini juga terjadi di Pemilu 2019. Ketua KPPS 07 Kelurahan Lesanpuro, Kecamatan Kedungkandang, Malang di Jawa Timur berusaha bunuh diri dengan melukai perutnya dengan senjata tajam. Ia stres karena terdapat selisih suara pada saat proses penghitungan di salah satu TPS di Jawa Timur.

Kasus lainnya, anggota KPPS Desa Karang Pinang, Kecamatan Sindang Beliti Ulu, Bengkulu meninggal dunia karena bunuh diri dengan meminum racun. Menurut pemeriksaan, tidak ada faktor lain yang melatarbelakangi kejadian tersebut selain kelelahan dan stres saat bertugas di TPS.

Banyaknya petugas KPPS yang meninggal dunia dan sakit ini menyebabkan perlunya evaluasi terhadap pelaksanaan pemilu serentak. KPU bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan lembaga swadaya masyarakat akan duduk bersama untuk membahas hal ini. Komisioner KPU Ilham Saputra mengatakan, KPU akan mengkaji mekanisme Pemilu dan berbagai wacana yang muncul untuk pelaksanaan Pemilu 2024.

Salah satu wacana yang muncul adalah dengan memisahkan pemilu serentak di daerah dengan pemilu serentak nasional. Format ini akan mengurangi beban penyelenggara di tingkat KPPS. Pemilu serentak daerah diusulkan dilaksanakan pada 2022 sedangkan pemilu serentak nasional pada 2024.

Format ini juga dinilai menguntungkan pemilih dan peserta pemilu lantaran bisa lebih fokus menyiapkan pemilu daerah dan nasional. Berbeda dengan kondisi saat ini di mana Pemilu Legislatif tertutup oleh Pemilihan Presiden (Pilpres).

(Baca: DPR Minta Pemerintah dan KPU Pertimbangkan e-Voting)

Reporter: Dwi Hadya Jayani