Per Awal Maret 2019, Bawaslu Catat 6.280 Dugaan Pelanggaran Pemilu

Antara
Ketua Bawaslu Abhan (kedua kanan) didampingi anggota Bawaslu Rahmat Bagja (kiri), Muhammad Afifudin (kedua kiri), dan Ratna Dewi Pettalolo (kanan).
Penulis: Dimas Jarot Bayu
8/3/2019, 14.46 WIB

Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) telah memproses 6.280 temuan dan laporan dugaan pelanggaran dalam pemilihan legislatif (Pileg) dan Pemilihan Presiden (Pilpres) hingga 5 Maret 2019. Rinciannya, 601 laporan dugaan pelanggaran yang didapat dari masyarakat dan peserta Pemilu, serta 5.985 temuan dugaan pelanggaran yang berasal dari pemantauan Bawaslu.

Komisioner Bawaslu Ratna Dewi Pettalolo mengatakan temuan dan laporan dugaan pelanggaran itu terdiri dari 485 kasus pelanggaran pidana, 4.695 pelanggaran administrasi, 113 pelanggaran kode etik, dan 579 kasus pelanggaran lainnya. "Ada 78 kasus yang masih dalam proses penanganan. Sebanyak 330 kasus lainnya dinyatakan bukan pelanggaran," ujarnya di Kantor Bawaslu, Jakarta, Jumat (8/3).

Ratna mengatakan temuan pelanggaran Pemilu paling banyak berada di Jawa Timur sejumlah 3.013 kasus. Sulawesi Tengah menempati posisi kedua dengan jumlah temuan pelanggaran Pemilu sebanyak 481 kasus. Temuan pelanggaran terbanyak berikutnya berada di Jawa Barat sebesar 445 kasus, Jawa Tengah 358 kasus, dan Sulawesi Tengah sebesar 326 kasus.

(Baca: Politik Uang Akan Semakin Meningkat di Pilpres 2019)

Sementara untuk laporan pelanggaran Pemilu paling banyak berasal dari Jawa Barat sebesar 70 kasus. Posisi itu disusul Aceh sebanyak 67 laporan, Sulawesi Selatan sebanyak 51 laporan, Sumatera Utara sebanyak 40 laporan, dan Jawa Tengah sebanyak 33 laporan. "Ini menunjukkan bahwa harapan Pemilu tanpa pelanggaran belum bisa kita wujudkan bersama," kata Ratna.

Ratna menjelaskan pelanggaran paling banyak muncul pada pemasangan alat peraga kampanye (APK). Ada 203.025 temuan dan laporan terkait pelanggaran APK yang diregistrasi. Dari jumlah tersebut, 146.812 APK telah ditertibkan karena dipasang di tempat-tempat yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Ada 125.522 APK dipasang pada tempat yang dilarang. Kemudian, 1.873 APK mengandung materi yang dilarang, 1.301 APK kendaraan angkutan umum, dan 21.286 APK yang masuk kategori pelanggaran lainnya. "Temuan dan laporan APK se-Indonesia ini memang cukup tinggi dan ini dilakukan pengawasan setiap harinya dan diupdate sesuai kebutuhan, sesuai dengan jadwal yang dilakukan Bawaslu," kata Ratna.

(Baca: PSI Desak Bawaslu Buka Kembali Kasus Mahar Politik Sandiaga)

Terkait dengan pelanggaran pidana, Ratna mengatakan saat ini sudah ada 45 putusan yang telah diterbitkan Bawaslu. Dari jumlah tersebut, 34 putusan telah dinyatakan inkrah dan 11 putusan masih dalam proses. Putusan tesebut tersebar di Sumatera Barat (1), Sulawesi Tenggara (2), Sulawesi Selatan (5), Sulawesi Tengah (9), Jawa Tengah (7). Lalu, Yogyakarta (2), Nusa Tenggara Timur (7), Kepulauan Riau (1), DKI Jakarta (4), Kalimantan Selatan (2), Jawa Barat (1), Riau (2), Bali (1), Jawa Timur (2), Kalimantan Timur (1), dan Kalimantan Barat (1).

Ada enam kasus terkait politik uang yang telah diputus. Rinciannya, satu putusan di Kepulauan Riau, tiga putusan di Jakarta, satu putusan di Jawa Barat, dan satu putusan di NTB. Dua putusan terkait politik uang tersebut menghasilkan vonis penjara enam bulan. Tiga putusan menghasilkan vonis penjara tiga bulan. Satu putusan menghasilkan vonis penjara empat bulan.

"Adapun pelaku dari politik uang ini adalah empat calon anggota DPR/DPRD/DPD dan satu orang pelaksana kampanye," kata Ratna. (Baca: Bawaslu Catat 28 Pelanggaran Pemilu 2019, Politik Uang Terbanyak)

Terkait kasus pelanggaran netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN), Bawaslu menemukan 165 kasus di 15 provinsi. Jumlah pelanggaran netralitas ASN paling banyak terjadi di Jawa Tengah, yakni 43 kasus. Kemudian, Sulawesi Selatan 26 kasus, Sulawesi Tenggara 19 kasus, Jawa Barat 17 kasus, Banten 16 kasus, Bali delapan kasus, Sulawesi Barat tujuh kasus, NTB enam kasus. Lalu, Riau dan Kalimantan Timur masing-masing lima kasus, Bangka Belitung tiga kasus, Kepulauan Riau dan Sumatera Selatan masing-masing dua kasus, serta Maluku satu kasus. 

Jabatan yang melakukan pelanggaran, antara lain delapan ASN, dua perangkat desa, sepuluh anggota BPD, delapan kepala daerah, delapan camat, dua petugas Satpol PP, satu kepala dinas, satu sekretaris kecamatan, dan satu sekretaris desa. Bentuk pelanggaran yang paling banyak dilakukan ASN, yakni melakukan tindakan menguntungkan peserta Pemilu di media sosial sebanyak 40 kasus. Sebanyak 27 kasus ASN melakukan tindakan menguntungkan peserta calon secara langsung. Ada 16 kasus ASN menggunakan atribut peserta Pemilu dan/atau membagikan APK.

Kemudian, 14 kasus ASN menjadi anggota partai politik, sepuluh kasus ASN menghadiri kegiatan peserta Pemilu, dua kasus ASN mencalonkan diri sebagai caleg meski belum mengundurkan diri. Lalu, satu kasus keterlibatan ASN sebagai tim kampanye peserta Pemilu. (Baca: Lebih dari 300 PNS Kena Sanksi karena Tak Netral dalam Pemilu)