Melemahnya pertumbuhan ekonomi Tiongkok ke bawah tujuh persen berbuntut pada penurunan permintaan sejumlah komoditas, termasuk batu bara. Imbasnya, Negeri Tembok Raksasa itu pun mengurangi impor emas hitam ini, termasuk dari Indonesia.
Para pengusaha batu bara Tanah Air pun mulai kelimpungan akibat kebijakan tersebut. Direktur Eksekutif APBI Hendra Sinadia mengatakan situasi lebih berat dialami untuk produksi batu bara berkalori rendah, yaitu di bawah 4.200. “Antisipasinya kami belum tahu,” kata Hendra, di Jakarta, Rabu (12/12).
Menurut Hendra, pembatasan impor tersebut telah mengacaukan pemetaan pasar ekspor bagi industri batu bara di Indonesia. Selama ini, Tiongkok merupakan pasar ekspor terbesar komoditas ini bagi Indonesia, dan umumnya ekspor batu bara kalori rendah.
(Baca: Produksi Batu Bara Sudah 90% dari Target, 22,6% untuk Pasar Domestik)
Apalagi, belum ada kepastian waktu kapan Cina akan mencabut pembatasan impor ini. Sebab, pembatasan impor ini tidak keluar dalam bentuk regulasi. Namun, hanya semacam instruksi yang diberikan kepada berbagai pelabuhan di Tiongkok.
Situasi makin rumit lantaran akhir tahun merupakan waktu perusahaan untuk mengajukan rancangan kerja dan anggaran biaya (RKAB). Hal ini membuat perusahaan kesulitan untuk memetakan pasar ekspor di tahun depan. Sementara untuk mengubah pasar ekpsor ke negara lain tidak mudah karena perlu waktu lama untuk memastikan kebutuhan batu bara di sana.
Selama ini, Indonesia mengirim sekitar 30 % dari total produksi batu bara ke Tiongkok. Menghadapi masalah ini, APBI pun meminta pemerintah Tiongkok tetap memprioritaskan komoditas batu bara dari Indonesia. Hal itu disampaikan dalam sebuah konferensi impor batu bara di Tiongkok pada minggu lalu.
Selain mengurangi permintaan, pembatasan impor dari Tiongkok juga menjadi salah satu faktor harga batu bara acuan (HBA) menurun seiring pasokan yang melipah. HBA periode Desember 2018 sesuai Keputusan Kementerian ESDM Nomor 1410 K/30/MEM/2018 turun 5,5 % dari bulan lalu menjadi US$ 92,51 per ton. Ini merupakan level terendah dalam enam bulan terakhir.
(Baca: Harga Batu Bara Desember Turun ke Level Terendah Enam Bulan Terakhir)
Jika dihitung sejak awal tahun, HBA Januari sebesar US$ 95,45 per ton. Lalu, naik pada Februari mencapai US$ 100,69. Sebulan kemudian turun US$ 94,75 per ton. Kemudian, periode April US$ 101,86 per ton. Setelah itu turun lagi ke level terendah pada Mei.
Harga batu bara mulai bangkit pada periode Juni hingga US$ 100,69 per ton. Harga ini kemudian menanjak menjadi US$ 104,65 per ton pada Juli. Agustus juga masih naik US$ 107,83 per ton. Namun, September turun jadi US$ 104,81 per ton. Penurunan harga berlangsung hingga Oktober mencapai US$ 100,89 per ton. Lalu, pada November tinggal US$ 97,90 per ton.