Pengembang megaproyek Meikarta PT Mahkota Sentosa Utama (MSU) menolak tagihan piutang yang dimohonkan PT Relys Trans Logistic (RTL) dan PT Imperia Cipta Kreasi (ICK) dalam perkara Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pengembang Meikarta bahkan melaporkan kedua vendor iklan properti tersebut ke kepolisian atas dugaan penipuan, pemerasan dan melawan hukum karena menyertakan dokumen tagihan yang dianggap fiktif dan cacat hukum.
"MSU telah melaporkan kepada pihak yang berwenang untuk diusut tuntas sehingga kebenaran menjadi nyata," kata Direksi PT MSU Reza Chatab dalam keterangan tertulis yang diterima Katadata.co.id, Selasa (26/6).
Laporan ke kepolisian merupakan buntut dari tagihan miliaran atas pekerjaan periklanan yang diajukan PT Relys Trans Logistic dan Imperia Cipta Kreasi. Dua perusahaan periklanan ini telah mengajukan gugatan PKPU sejak 24 Mei 2018 dengan nomor perkara 68/Pdt.Sus-PKPU/2018/PN Jkt.Pst. Sidang perdana gugatan PKPU berlangsung pada 5 Juni 2018.
(Baca juga: Dua Vendor Iklan Buka Opsi Damai dalam Kasus PKPU Piutang Meikarta)
Reza mengatakan alasan melaporkan ke kepolisian karena terdapat beberapa kejanggalan dokumen tagihan yang terlihat dari Surat Perintah Kerja dari MSU kepada kedua vendor tersebut. Tagihan tersebut tak pernah disetujui dan ditandatangani direksi pengembang Meikarta.
"Dokumen yang diajukan tidak memiliki otorisasi dan tidak ditandatangani pihak yang berwenang di MSU," ujar Reza.
Reza menjelaskan, SPK seharusnya disiapkan dan dikeluarkan secara sah oleh MSU. Namun, SPK dalam perkara ini justru dibuat di atas kop surat Relys Trans Logistic sebagai penerima pekerjaan.
Penandatanganan SPK juga hanya diwakili Deputy General Manager MSU Angga yang berada empat lapis di bawah Direktur Utama. Reza menilai seharusnya SPK ditandatangani oleh direksi MSU. Tanda tangan pun disebut hanya tertera "a/n" dan sebuah coretan tanpa nama lengkap.
SPK ditandatangani pada 8 Desember 2017 atau tiga bulan setelah periode kontrak kerja pada 17 September - 16 Oktober 2017. Periode 17 September - 16 Oktober 2017 pun dianggap tidak terdaftar sebagai auhorised event pengembang Meikarta.
Reza juga mempersoalkan angka "Rp19" yang tertuang dalam nilai kontrak kerja antara pengembang Meikarta dan Relys Trans Logistic. Kemudian, setelah angka tersebut dituliskan “satu milyar enam ratus tujuh puluh tujuh juta seratus tiga puluh dua ribu rupiah”.
"Tidak ada angka yang jelas, konsisten, ataupun sensibel," ucapnya.
(Baca juga: Sengkarut Izin dan Pemasaran Megaproyek Meikarta)
Reza menambahkan, kejanggalan lainnya lantaran dua vendor periklanan tersebut tidak memiliki izin sebagai event organizer. Keduanya dianggap hanya memiliki izin jasa penyelenggara transportasi, komputer dan elektronik.
Reza yakin berbagai alasan tersebut akan membuat majelis hakim PN Jakarta Pusat melihat kejanggalan dalam dokumen tagihan tersebut, sehingga akan menolak gugatan.
Sementara itu kuasa hukum Relys dan Imperia, Ibnu Setyo Hastono mengatakan kliennya siap dengan opsi damai. Namun, mereka pun telah menyiapkan amunisi menghadapi pengembang Meikarta dalam persidangan gugatan PKPU. Sebab, pihaknya sudah memiliki landasan hukum yang jelas untuk bisa memenangkan gugatan.
Ibnu mengatakan, Relys dan Imperia telah memiliki bukti dan dokumen yang kuat untuk membuktikan adanya tagihan piutang dari MSU dan akan dipaparkan pada sidang lanjutan PKPU, Selasa (26/6).
"Dari pihak kami secara hukum sudah benar memenuhi semua. Kami menganggap SMU itu wanprestasi," kata Ibnu.
Sidang gugatan PKPU Senin (25/6) kemarin digelar di PN Jakarta Pusat dengan agenda mendengar jawaban pengembang Meikarta tertunda. Penundaan lantaran pengembang Meikarta sebagai pihak termohon belum dapat memberikan jawaban.