Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mendapat perhatian publik pekan lalu saat menyegel Pulau D Reklamasi Teluk Jakarta. Dalam waktu yang berdekatan, ternyata Anies juga mengeluarkan Peraturan Peraturan Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 58 Tahun 2018 tentang Pembentukan, Organisasi, dan Tata Kerja Badan Koordinasi Pengelolaan Reklamasi Pantai Utara Jakarta.
Pembentukan Badan Pengelolaan Reklamasi ini mendapat sorotan organisasi penolak reklamasi Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta. Koalisi mengecam keras kebijakan Anies yang dianggap bentuk dukungan atas keberlanjutan proyek reklamasi Teluk Jakarta.
"Setelah tidak melakukan pembongkaran, tapi hanya penyegelan bangunan di Pulau D hasil reklamasi, Anies-Sandiaga ternyata memutuskan untuk melanjutkan proyek reklamasi Teluk Jakarta," kata pengacara publik LBH Jakarta yang bergabung di Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta, Nelson Nikodemus Simamora, dalam keterangan tertulis, Selasa (13/6).
(Baca juga: Alasan Anies Segel Properti Grup Agung Sedayu di Pulau D Reklamasi)
Pergub Nomor 58 Tahun 2018 ini ditandatangani oleh Anies pada 4 Juni 2018 dan diundangkan pada 7 Juni 2018. Berdasarkan catatan Koalisi, Badan Pengelolaan Reklamasi ini untuk mengkoordinasikan perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan reklamasi.
Sedangkan fungsinya untuk mengkoordinasikan teknis reklamasi (pemanfaatan tanah dan pembangunan di pulau reklamasi, pemeliharaan lingkungan, pengendalian pencemaran), penataan pesisir (penataan kampung, permukiman, hutan bakau, relokasi industri), peningkatan sistem pengendalian banjir, fasilitasi proses perizinan reklamasi. Selain itu akan menjalankan fungsi optimalisasi dan evaluasi atas pemanfaatan tanah Hak Guna Bangunan yang sudah ada oleh perusahaan mitra atau pengembang reklamasi.
Koalisi menyatakan Pergub Nomor 58 Tahun 2018 tersebut cacat hukum, karena merujuk pada Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta yang sudah dinyatakan tidak berlaku oleh Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur.
Dalam Pasal 71 Perpres 54 Tahun 2008 tersebut disebutkan bahwa Keppres 52 Tahun 1995 yang terkait dengan penataan ruang dinyatakan tidak berlaku lagi.
(Baca juga: Digugat Konsumen Reklamasi, Pemprov Disebut Sebabkan Ketidakpastian)
Koalisi juga menilai proyek reklamasi Teluk Jakarta masih memiliki berbagai permasalahan seperti tidak adanya Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL) kawasan maupun regional, tidak adanya rencana zonasi (RZWP-3-K) dan rencana kawasan strategis, ketidakjelasan tentang lokasi pengambilan material pasir, hingga pembangunan rumah dan ruko di atas pulau reklamasi tanpa Izin Mendirikan Bangunan (IMB).
Nelson memaparkan saat kampanye pemilihan kepala daerah Jakarta yang lalu, Anies berjanji akan menghentikan reklamasi, bagian dari poin nomor 6 dari 23 janji politik Anies-Sandiaga. "Suatu utang yang harus dibayar kepada pemilihnya yang percaya bahwa janji tersebut akan terwujud. Namun, janji sepertinya tinggal janji saja," kata Nelson.
(Baca juga: Tak Hanya Segel, Anies Didorong Bongkar Bangunan di Pulau D Reklamasi)
Sebelumnya Koalisi mengkritik Anies yang hanya menyegel bangunan di Pulau D, kawasan Reklamasi Teluk Jakarta. Juru bicara Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta Martin Hadiwinata mendorong Anies untuk membongkar seluruh bangunan di Pulau D, karena penyegelan bangunan pernah dilakukan beberapa kali, namun pengembang diduga masih melanjutkan pembangunan.
Penyegelan pernah dilakukan mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok pada 2014. Setelah itu Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyegel bangunan yang sama pada 2016. Baik Ahok, KLHK dan Anies menyegel properti milik pengembang Pulau D yakni PT Kapuk Naga Indah (KNI), anak perusahaan PT Agung Sedayu Group.
“Tidak cukup penyegelan itu. Ternyata dalam proses itu pembangunan di Pulau C dan D terus berjalan,” ujar Martin ketika dihubungi Katadata.co.id, Jumat (8/6).
Martin mengatakan, Anies harus menindaklanjuti penyegelan dengan pembongkaran bangunan. Setelah itu, pulau D dapat dimanfaatkan di antaranya dengan menjadikannya sebagai kawasan konservasi atau hutan kota. Martin menilai, opsi mengubah Pulau D sebagai kawasan konservasi bila pembongkaran pulau dianggap merugikan negara.