Ribuan pengendara ojek dalam jaringan (daring) menggelar aksi demontrasi di depan kompleks parlemen, Jakarta, Senin (23/4). Para pengemudi ojek online menuntut tiga hal, yakni kenaikan tarif bawah, perbaikan regulasi dan moratorium rekrutmen pengendara baru.
Pendamping Forum Peduli Transportasi Online Indonesia (FPTOI) Azas Tigor Nainggolan menyebutkan tuntutan pertama meminta penetapan tarif paling bawah sebesar Rp 3.200. Tarif tersebut ditentukan dengan rincian adanya beban biaya produksi per hari dengan perkiraan jarang tempuh sejauh 150 kilometer per hari atau 3.000 kilometer per bulan.
Beban biaya produksi secara langsung yang diperhitungkan terdiri dari biaya penyusutan kendaraan, bensin, oli, servis kendaraan, telepon genggam, kuota internet per hari dan pulsa.
Biaya tidak langsung per hari dihitung dari ban, kanvas rem, dan aki motor. Dari jumlah tersebut, terhitung biaya pengeluaran harian sebesar Rp 74.145,83 dan perbulannya menjadi Rp 1,788 juta. Kemudian, biaya tersebut ditambahkan dengan biaya hidup per bulan berdasarkan Upah Minimum Regional (UMR) sebesar Rp 3,648 juta.
Tigor mengatakan setiap mitra usaha dari aplikator ojek daring mendapatkan keuntungan sebesar 40%. "Jadi harga per kilometer jumlahnya Rp 7,611 juta dibagi tiga ribu per kilometer minimal driver mendapatkan Rp 2,3 ribu," kata Tigor di kompleks parlemen, Jakarta, Senin (23/4).
(Baca juga: Pengemudi Ojek Online Unjuk Rasa, Tarif Go-Jek dan Grab Melonjak)
Kedua, para pedemo juga menuntut agar pemerintah menyiapkan regulasi yang menjadi payung hukum terkait keberadaan ojek daring. Selama ini, pemerintah belum pernah mengatur keberadaan ojek daring karena belum diakui sebagai salah satu moda transportasi publik.
Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan pun dinilai belum mengakomodir keberadaan moda transportasi daring. Kendati, pemerintah sudah mengatur keberadaan taksi daring melalui Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 108 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek.
Padahal, lanjut Tigor, keberadaan ojek daring sudah cukup lama di Indonesia sebagai transportasi publik. "Kami ingin agar ada regulasi untuk melindungi keberadaan ojek daring. DPR agar dorong pemerintah untuk hal itu," kata Tigor.
Desakan regulasi terkait munculnya banyak penolakan atas munculnya ojek daring di berbagai daerah. Pembuatan regulasi juga karena selama ini aplikator ojek daring dituding tak pernah melibatkan para ojek daring secara proporsional dalam membuat kebijakan, termasuk tarif.
Alhasil, berbagai kebijakan tersebut kerap merugikan para pengendara ojek daring yang menjadi mitra para aplikator. "Gojek dan Grab bisa dengan bebas menentukan tarif tanpa konsultasi dengan kami sebagai drivernya," kata perwakilan FPTOI lainnya, Krisna.
Ketiga, mendesak pemerintah memberlakukan moratorium atas rekrutmen mitra pengendara baru. Selama ini, aplikator ojek daring selalu melakukan perekrutan ratusan mitra pengendara baru setiap harinya dengan alasan masih tingginya permintaan pasar.
(Baca juga: Grab Tolak Tuntutan Pengemudi untuk Naikkan Tarif)
Padahal dengan jumlah yang ada saat ini, para pengendara ojek daring kerap kesulitan untuk memenuhi 10 pesanan yang dituntut aplikator setiap harinya.
"Tolong moratorium penerimaan driver baru agar tak ada lagi penambahan driver agar keseimbangan supply-demand terjaga," kata Perwakilan dari Perkumpulan Pengemudi Transportasi dan Jasa Daring Indonesia (PPTJDI) Ahmad Syafii.
Menanggapi permintaan dari pengendara ojek daring, Ketua Komisi V DPR RI Fary Djemi Francis mengatakan bakal mencatat dan merekam segala aspirasi tersebut sebelum disampaikan ke pemerintah. Menurut Fary, persoalan ini harus segera diselesaikan karena sudah berlarut dan pemerintah lambat menanganinya.
"Pemerintah tidak boleh tutup mata dan berlipat tangan," kata Fary yang berasal dari fraksi Gerindra.
(Baca juga: Selesaikan Polemik Ojek Online, Menhub Dorong 4 Pihak Berdiskusi)
Fary pun sepakat jika segera dibuat aturan sebagai payung hukum dari keberadaan ojek daring. Menurut Fary, aturan ini diperlukan untuk menindak pihak-pihak yang berbuat tidak adil dan curang dalam proses bisnis transportasi ini.
"Harus ada regulasi yang jelas sebab ada pihak-pihak nakal dan bandel. Harus disentil yang bandel-bandel ini," kata Fary.
Anggota Komisi V dari Fraksi PDIP Rendy M Affandy Lamadjido setuju harus adanya pengaturan atas keberadaan ojek daring. Alasannya, ojek daring saat ini sudah dapat dikategorikan sebagai transportasi konvensional mengingat keberadaannya yang banyak digunakan masyarakat.
Hanya saja, dia meminta agar penggunaan motor sebagai alat transportasi lebih diatur lebih jauh, seperti tidak untuk jarak jauh dan membawa barang secara berlebihan. "Kami sebagai anggota DPR akan menampung dan merealisasikan secepat mungkin," kata Rendy.
(Baca juga: Kemenhub Pastikan Tak Ikut Perundingan Tarif Ojek Online)
Anggota Komisi V DPR RI dari Fraksi Gerindra Bambang Haryo Soekartono pun menilai payung hukum terkait ojek daring perlu segera dibuat. Menurut Bambang, jika ojek daring tak diatur akan berdampak kepada publik.
"Kalau tidak diatur, ini mengemban permasalahan yang berhubungan dengan kapasitas angkut, kedua keselamatan dan keamanan, ketiga kenyamanan," kata Bambang.
Namun demikian, Bambang menilai akan sulit jika payung hukum tersebut dimunculkan melalui revisi UU Nomor 22 Tahun 2009. Karenanya dia mengusulkan agar pemerintah bisa menerbitkan Peraturan Presiden. "Kami akan mendukung untuk terealisasinya aturan ojek daring," kata Bambang.