Presiden Joko Widodo hingga kini belum menandatangani perubahan kedua atas Undang-undang Nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) yang disahkan DPR pada Senin (12/2). Pengacara Hukum Tata Negara Andi M Asrun menyatakan bila Jokowi tak akan mendandatangani UU, tak akan ada implikasi hukum namun menimbulkan dampak politik.
Menurut Asrun, tanpa Jokowi menandatangani UU MD3 pun aturan tersebut tetap akan berlaku dengan sendirinya. Sebab berdasarkan Pasal 20 ayat 5 UUD 1945 disebutkan RUU sah menjadi UU dan wajib diundangkan meski tidak ditandatangani Presiden dalam waktu paling lama 30 hari terhitung sejak disetujui bersama.
Aturan soal ini lebih lanjut disebutkan dalam Pasal 170 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. "Jokowi tidak akan tanda tangan pun UU akan berlaku," kata Asrun di Hotel Century Atlet, Jakarta, Kamis (15/2).
(Baca juga: Atur Imunitas dan Antikritik DPR, UU MD3 Akhirnya Digugat ke MK)
Lebih lanjut, kata Asrun, jika UU MD3 tidak ditandatangani Jokowi, maka proses gugatan aturan tersebut di Mahkamah Konstitusi (MK) akan menjadi lebih mudah. Sebab, dengan tidak ditandatangani maka pemerintah dapat memberikan pendapat berbeda dengan DPR ketika berjalannya proses persidangan di MK.
"Sehingga kemungkinan pasal yang diujikan itu akan dibatalkan oleh MK," kata Asrun yang kerap menjadi pengacara dalam kasus di MK. Forum Kajian Hukum dan Kontitusi (FKHK) telah mengajukan uji materi UU MD3 ke MK.
Sebaliknya, bila Jokowi tidak menandatangani UU MD3 maka akan memperoleh keuntungan menjelang pemilihan presiden 2019. Apalagi ada desakan dari publik yang meminta Jokowi tak menandatangani UU MD3, di antaranya datang dari LBH GP Ansor.
"Secara politik lebih menguntungkan bila Jokowi tidak beri tanda tangan, artinya dia tidak dianggap pro pada peraturan perundang-undangan yang tidak bagus atau banyak dikritik publik," kata Asrun.
(Baca juga: Menyoroti Aturan Imunitas dan Antikritik DPR dalam UU MD3)
Asrun pun memperkirakan, Jokowi memilih tidak akan menandatangani UU MD3 tersebut. "Saya perkirakan presiden tidak akan tanda tangan, akan dibiarkan saja DPR bermain sendiri," kata dia.
Perihal soal sah atau tidaknya undang-undang tanpa disertai tandatangan presiden, terdapat dua pendapat hukum yang berbeda. Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Jimly Asshiddiqie pernah mengatakan terdapat lima Undang-Undang yang tidak ditandatangani oleh presiden yang tetap dapat berlaku. Jimly mengatakan UU tidak berlaku bila dicabut oleh MK.
Beberapa UU yang berlaku meski tanpa tanda tangan presiden, yakni UU Nomor 25 Tahun 2002 tentang Pembentukan Provinsi Kepulauan Riau, UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.
Pendapat hukum berbeda datang dari Maria Farida Indrati Soeprapto yang kini menjabat hakim Konstitusi di MK. Dalam wawancara dengan Hukumonline pada 2003, dia mengatakan UU yang tidak disahkan Presiden menjadi tidak berlaku sah sebagai UU.
(Baca juga: Antikritik, UU MD3 Didukung Partai Pengusung Jokowi dan Prabowo)
Maria berpendapat, aturan mengenai hal ini tak hanya dapat melihat dari Pasal 20 ayat (5), namun juga harus melihat dari Pasal 5 ayat (1) UUD 1945. Pasal 5 yang mengalami amandemen pada 2000 menyebutkan Presiden berhak mengajukan RUU ke DPR. "Jadi Presiden itu tidak wajib, hanya berhak," kata Maria.
Saat disetujui oleh DPR dan pemerintah dalam rapat paripurna, RUU itu belum dapat dianggap sah. "Jadi, hanya mengatakan disetujui, diketok palu, sudah, kita setujui, kita tingkatkan jadi UU, lalu kita kirimkan kepada Presiden," kata Maria. Setelah persetujuan di DPR, selanjutnya, Presiden memiliki kewenangan untuk mengesahkan.
Maria lebih lanjut berpendapat dari segi hukum administrasi, tidak ada suatu keputusan yang tidak ditandatangani dianggap berlaku sah sebagai keputusan. Sehingga dia menyarankan DPR sebagai pengawas dapat meminta Presiden menandatangani UU yang telah disetujui bersama oleh pemerintah dan DPR.