Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tengah mempelajari penerbitan sertifikat Hak Pengelolaan Lingkungan (HPL) dan Hak Guna Bangunan (HGB) terhadap dua pulau reklamasi, Pulau C dan D. Agus mengatakan penerbitan sertifikat HPL dan HGB terhadap dua pulau reklamasi itu terkesan tergesa-gesa.
"Penerbitan sertifikat yang kelihatannya buru-buru itu," kata kata Ketua KPK Agus Rahardjo ditemui di kantor Kementerian Lingkungan Hidup, Jakarta, Selasa (29/8). (Baca: Permintaan Pemprov DKI, Menteri LHK Akan Cabut Moratorium Reklamasi)
KPK juga akan mengkaji permohonan moratorium pembangunan reklamasi atas Pulau C dan D kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Permohonan pencabutan moratorium dilayangkan Pemprov DKI Jakarta.
KPK mengikuti proses izin reklamasi karena pada Maret tahun lalu membongkar kasus suap terkait proyek tersebut. Pihak pengembang reklamasi yakni mantan Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land Ariesman Widjaja tertangkap tangan memberikan suap sebesar Rp 2 miliar kepada anggota DPRD Sanusi.
(Baca: Djarot Sebut Reklamasi Teluk Jakarta Tetap Harus Dilanjutkan)
Suap diberikan untuk memperlancar pembahasan Raperda Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta (RTRKSP) Jakarta di DPRD DKI. Setelah bergulirnya perkara yang menyita perhatian publik ini, pemerintah pusat memutuskan moratorium atau penghentian sementara reklamasi Jakarta untuk membenahi prosedur dan izin reklamasi.
Sejak pertengahan bulan lalu, pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengantongi sertifikat hak pengelolaan lahan (HPL) atas Pulau C dan Pulau D. Belakangan Badan Pertanahan Nasional mengeluarkan Sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) Pulau D seluas 312 hektar kepada PT Kapuk Niaga.
(Baca: Menko Luhut: Hak Anies-Sandi Hentikan Reklamasi Teluk Jakarta)
Kepala Kantor BPN Jakarta M Najib Taufieq mengatakan HGB yang dikeluarkan untuk Kapuk Niaga merupakan HGB induk yang pemanfaatannya 52,5% untuk kepentingan komersial dan 47,5% untuk kepentingan fasilitas umum dan fasilitas sosial (fasum/fasos) yang wajib dibangun oleh pihak pengembang dan diserahkan kepada Pemprov DKI Jakarta.
"Jangka waktu HGB adalah selama 30 tahun dan dapat diperpanjang atas persetujuan pemegang hak pengelola lahan yaitu Pemda DKI Jakarta," kata Najib dalam siaran pers.
Saat ini, Kementerian Lingkungan Hidup sedang memeriksa kelengkapan dokumen untuk pencabutan moratorium. Permintaan pencabutan moratorium dilayangkan Pemmprov DKI Jakarta lewat surat yang meminta KLHK mencabut sanksi kepada PT Kapuk Naga Indah, anak usaha Grup Agung Sedayu, atas pembangunan Pulau C dan D.
(Baca: Anies Setop Reklamasi, Luhut: Jangan Lari Jika Jakarta Tenggelam)
Siti mengatakan, dirinya telah menugaskan dua pejabat KLHK memeriksa seluruh persyaratan pencabutan sanksi setelah menerima surat Pemprov DKI. Sebelumnya, kata Siti, hanya tersisa satu dari 11 izin yang belum diselesaikan PT Kapuk Naga Indah dalam pembangunan Pulau C dan D, yakni Analisis Dampak Lingkungan (Amdal).
Siti menyebut Pemprov DKI telah menyelesaikan izin lingkungan dari proyek tersebut. Sehingga, seharusnya masalah Amdal telah rampung dan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) dapat diselesaikan.
Apabila KLHS rampung, Siti menilai KLHK dapat mencabut sanksi moratorium atas pembangunan Pulau C dan D. "Kalau itu sudah bisa, berarti dia sudah bisa selesai dari penerapan sanksinya," kata Siti.