Setya Novanto Didesak Mundur dari Kursi Ketua DPR

ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A
Penulis: Dimas Jarot Bayu
Editor: Yuliawati
18/7/2017, 09.47 WIB

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Setya Novanto sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan Kartu Tanda Penduduk berbasis elektronik (e-KTP) tahun anggaran 2011-2013, Senin (17/7) malam. Penetapan tersangka ini mendorong permintaan Setya mundur dari jabartannya sebagai Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI.

Koordinator Korupsi Politik Indonesian Corruption Watch (ICW), Donal Fariz mengatakan, Novanto harus mundur dari jabatannya sebagai Ketua DPR sebagai langkah menghormati proses hukum. Selain itu, untuk menghindari penyalahgunaan wewenang oleh Novanto ketika proses hukum terkait dirinya sedang berjalan.

"Agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang sebagai pimpinan lembaga negara untuk melawan proses hukum, sehingga tidak terjadi konflik kepentingan," kata Donal dalam siaran pers, Jumat (17/7) malam.

Donal pun meminta Golkar agar mendukung proses penegakan hukum yang dilakukan KPK, alih-alih menentangnya. Dia mengatakan ukungan terhadap proses penegakan hukum perlu dilakukan agar citra partai berlambang beringin itu tak semakin buruk. Terlebih ketika Novanto yang menjadi Ketua Umum ditetapkan sebagai tersangka.

"Pada saat yang sama, Partai Golkar harus segera melakukan pembenahan internal untuk mengganti pimpinannya yang bermasalah," kata Donal.

(Baca: Setya Novanto Jadi Tersangka Kasus Korupsi e-KTP)

Donal pun mengapresiasi langkah KPK dalam menetapkan Novanto sebagai tersangka. Dia menganggap langkah KPK menunjukkan adanya keseriusan untuk membongkar dalang di balik kasus yang merugikan negara Rp 2,3 triliun tersebut.

"Langkah KPK ini patut diapresiasi untuk menunjukkan keseriusan KPK membongkar dalang persekongkolan pengadaan KTP elektronik," ucap Donal.

Ketua KPK Agus Rahardjo mengatakan, Novanto diduga mengakibatkan kerugian keuangan negara sekurang-kurangnya Rp 2,3 triliun dari nilai paket pengadaan senilai Rp 5,9 triliun dalam pengadaan paket penetapan KTP elektronik tahun 2011-2012 pada Kemendagri.

KPK menduga Novanto melalui Andi Agustinus alias Andi Narogong memiliki peran, baik dalam proses perencanaan dan pembahasan di DPR dan proses pengadaan barang jasa dalam proyek e-KTP. Novanto juga diduga telah mengkondisikan peserta dan pemenang pengadaan barang dan jasa e-KTP melalui Andi Narogong.

"Sebagaimana terungkap dalam fakta persidangan, korupsi e-KTP diduga sudah direncanakan dalam proses perencanaan yang terjadi dalam dua tahap, yaitu penganggaran dan proses pengadaaan barang dan jasa," ucap Agus.

Atas perbuatannya, Novanto disangkakan melanggar Pasal 3 atau Pasal 2 ayat 1 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHPidana.

(Baca: Usai Diperiksa Kasus Korupsi e-KTP, Setya Novanto Diteriaki Mahasiswa)

Selama persidangan e-KTP, nama Setya Novanto disebut berulang kali dalam surat dakwaan dan tuntutan terhadap terdakwa Irman dan Sugiharto. Jaksa menyebutkan Novanto bekerjasama dengan terdakwa untuk memperkaya diri sendiri dan orang lain yang menyebabkan kerugian negara sekitar Rp 2,3 triliun.

"Telah terjadi kerjasama yang erat dan sadar antara para terdakwa dengan Setya Novanto, Diah Anggaraini, Drajat Wisnu Setyawan, Isnu Edhi dan Andi Agustinus alias Andi Narogong," kata Ketua JPU Irene Putrie saat membacakan surat tuntutan untuk terdakwa Irman dan Sugiharto di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Kamis (22/6).

Dalam surat tuntutan, jaksa menyebut kedua terdakwa yakni mantan Direktur Jenderal Dukcapil Kemendagri Irman dan mantan Pejabat Pembuat Komitmen Kemendagri Sugiharto, berkomunikasi dengan Setya Novanto sejak usulan pembahasan proyek e-KTP di Komisi II DPR pada 2011.

Pengusaha yang berafiliasi dengan konsorsium pemenang tender e-KTP Andi Agustinus alias Andi Narogong mengajak para terdakwa bertemu dua kali dengan Setya Novanto yang ketika itu menjabat Ketua Fraksi Partai Golkar.

(Baca: Jadi Saksi di Pengadilan, Setya Bantah Mendalangi Korupsi Proyek e-KTP)

Pertemuan pertama berlangsung di Hotel Gran Melia, Jakarta sekitar pukul 06.00 yang dihadiri Irman, Sugiharto, Diah Anggraini (eks Sekjen Kemendagri), Drajat Wisnu (ketua lelang proyek), dan Isnu Edhi (ketua konsorsium PNRI). Dalam pertemuan itu Setya Novanto menyampaikan dukungan proyek e-KTP.

Beberapa hari kemudian digelar pertemuan antara Irman dengan Andi Agustinus di ruang kerja Setya Novanto di lantai 12 Gedung DPR. Saat pertemuan itu, Andi menanyakan kepastian anggaran proyek e-KTP agar Irman dapat melakukan persiapan. Setya Novanto ketika itu menjawab, "Ini sedang kami koordinasikan perkembangannya, nanti kami hubungi Andi."

Setelah proyek berjalan, Andi menyerahkan uang kepada Setya Novanto selama empat tahap. Pembayaran tiga kali pada 2011 dan satu kali pembayaran pada 2012. Uang diberikan kepada Novanto dari Direktur Utama PT Quadra Solution Anang Sugiana, melalui Andi. PT Quadra Solution merupakan perusahaan konsorsium e-KTP.

Nama Novanto kembali disebut ketika pada Mei 2012, Anang tak bersedia memberikan uang yang membuat Andi marah. "Kalau begini saya malu dengan Setya Novanto, kemana muka saya dibuang kalau hanya sampai di sini sudah berhenti," kata Andi.

Dengan beragam fakta tersebut, jaksa berkeyakinan Setya Novanto terlibat dalam perencanaan korupsi. Jaksa Irene mengatakan pertemuan di Hotel Gran Melia, merupakan perbuatan permulaan untuk mewujudkan delik, karena pada dasarnya setiap orang yang hadir dalam pertemuan tersebut menyadari bertentangan dengan hukum.

(Baca: Jaksa Jelaskan Fakta Keterlibatan Setya Novanto dalam Korupsi e-KTP)

"Terlebih pertemuan di luar jam kerja yakni pukul 06.00 serta adanya upaya dilakukan Setya Novanto untuk menghilangkan fakta dengan memerintahkan Diah Anggraini agar menyampaikan pesan kepada terdakwa satu (Irman) jika ditanya oleh penyidik KPK agar tidak menjawab mengenal Setya Novanto," kata Irene membacakan surat tuntutan.