PT Pertamina (Persero) meminta pemerintah memberikan subsidi untuk bahan bakar gas (BBG). Alasannya harga BBG seperti gas alam terkompresi (CNG) yang dijual Pertamina saat ini sudah tidak ekonomis bahkan bisa rugi.
Manager CNG and City Gas Pertamina Ryrin Marisa menjelaskan pihaknya menjual CNG di Jakarta saat ini dengan harga Rp 3.100 liter setara premium (LSP). Harga ini ditetapkan tanpa memperhitungkan biaya angkut. Padahal tidak semua SPBG memiliki infrastruktur pipa, sehingga untuk membawa gas ke SPBG menggunakan armada truk.
Menurutnya harga yang tidak pernah berubah sejak 2010 ini sudah tidak ekonomis. Apalagi harga minyak dunia yang sangat fluktuatif berpengaruh juga pada harga gas. Perhitungan Pertamina, harga yang ekonomis untuk CNG saat ini sebesar Rp 4.500-5.000 per LSP.
Pertamina telah meminta pemerintah mengkaji ulang harga BBG dengan perkembangan saat ini dan mengusulkan perhitungan harganya. Adapun jika pemerintah tidak bersedia menaikkan harga, Pertamina mengusulkan subsidi. Pemerintah bisa memberikan subsidi Rp 1.500 per LSP, agar masyarakat tetap bisa membeli BBG dengan harga Rp 3.100 per LSP.
"Sekarang ke pemerintah kami minta subsidi kayak premium dulu," kata dia di Jakarta, Selasa (14/3). (Baca: Tak Ekonomis, Pengusaha SPBG Minta Kenaikan Harga Jual CNG)
Saat ini pemerintah sedang berupaya mendorong investor membangun infrastruktur stasiun pengisian bahan bakar gas (SPBG). Ryrin mengaku pesimis dengan upaya ini. Dengan harga jual yang berlaku sekarang, tidak akan ada investor swasta yang mau membangun SPBG.
Perlu adanya insentif seperti subsidi harga agar program konversi BBM ke BBG bisa berjalan. Dengan insentif ini, investor bisa mendapatkan kepastian mengenai mengenai tingkat pengembalian investasinya (IRR).
Terkait dengan program konversi BBM ke BBG, Ryrin mengatakan saat ini konsumen Pertamina, yakni Transjakarta, telah mengurangi jumlah unit bus yang menggunakan gas. Tahun lalu jumlah armada bus Transjakarta yang menggunakan CNG mencapai 1.200 unit, tahun ini hanya tersisa 800 unit.
"Alasannya karena manufakturnya tidak sanggup untuk mengadakan sebanyak yang mereka butuhkan. Harga bus CNG yang lebih mahal daripada solar," kata dia. (Baca: Penggunaan Bahan Bakar Gas Minim karena Masalah Infrastruktur)
Pertamina mencatat pada 2015, realisasi penyerapan CNG Pertamina sebesar 3,6 juta kaki kubik per hari (mmscfd). Tahun 2016, meningkat menjadi 3,8 mmscfd akibat penambahan armada Transjakarta. Namun hingga bulan Februari lalu, serapan CNG menurun menjadi 2,8 mmscfd, padahal target serapan CNG Pertamina tahun ini sebesar 4 mmscfd.
Penurunan harga ini disebabkan oleh berkurangnya jumlah armada Transjakarta yang memakai CNG. Menurut dia, telah ada kebijakan di internal di Transjakarta yang memperbolehkan bus mengisi BBM di SPBU tertentu.
Menurut Ryrin, Transjakarta berperan penting dalam penjualan CNG Pertamina, sebab angkutan umum itu menjadi konsumen terbesar Pertamina dalam menjual CNG. Apalagi setiap sekali pengisian, Transjakarta membutuhkan sekitar 120 per LSP CNG. Sementara taksi BBG hanya mengonsumsi gas sebesar 15 LSP dan bajaj 5 LSP CNG dalam sekali pengisian. Saat ini pertamina telah memiliki 57 SPBG, sebagian diantaranya masih dalam tahap pembangunan.
Ryrin juga menanggapi kebijakan pemerintah yang nantinya akan mewajibkan pemasangan dispenser gas di tiap SPBU. Menurutnya, hal itu sulit diterapkan karena tidak semua SPBU bisa mengimplementasikannya. (Baca: Pemerintah Akan Wajibkan Pengusaha SPBU Jual BBG)
Dia mencontohkan dari sifat penyimpanannya. Penyimpanan BBM di SPBU bisa ditempatkan di bawah tanah, sedangkan gas harus di atas permukaan tanah dan membutuhkan ruang yang cukup luas. Belum lagi lahan untuk dispenser gas dan peralatan pendukungnya.
"Bisa dilihat lahan SPBU sekarang kecil-kecil karena areanya kecil, jadi butuh kita seleksi mana yang muat," kata dia.