Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah mengusulkan perubahan keempat Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Ada 11 poin penting dalam usulan kepada Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution tersebut.

Usulan itu disampaikan melalui surat nomor 9975/30/WM/2016 bertanggal 28 Desember 2016 lalu, yang ditandatangani Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar atas nama Menteri ESDM Ignasius Jonan. "Keputusannya itu kami serahkan ke rapat Menteri Koordinator Bidang Perekonomian," kata Arcandra di Jakarta, Kamis (5/1).

(Baca: Boleh Ekspor, Perusahaan Tambang Tetap Wajib Bangun Smelter)

Poin pertama rekomendasi adalah permohonan perpanjangan Izin Usaha Pertambangan (IUP)/IUP Khusus (IUPK) operasi produksi dapat diajukan kepada menteri atau gubernur sesuai dengan kewenangannya. Waktu pengajuannya paling cepat lima tahun dan paling lambat satu tahun sebelum berakhirnya izin operasi pertambangan tersebut. 

Padahal, jika mengacu Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2014, perpanjangan baru boleh diajukan dua tahun sebelum kontraknya berakhir. Menurut Arcandra, ada beberapa pertimbangan mengubah jangka waktu pengajuannya. Salah satunya adalah jumlah cadangan yang ada dan kepastian investasi. “Kami pikir lebih mungkin lima tahun, lebih pantas," ujarnya.

Kedua, pemegang IUP operasi produksi yang menjual mineral atau batubara wajib berpedoman pada harga patokan yang ditetapkan oleh menteri atau gubernur. Namun, hal itu harus tetap sesuai dengan kewenangannya. 

Ketiga, divestasi saham ditawarkan secara berjenjang kepada pemerintah, badan usaha swasta nasional. Apabila tidak terlaksana dapat dilakukan melalui penawaran umum di bursa saham Indonesia. Harga penawarannya ditentukan berdasarkan harga pasar yang wajar, termasuk besaran persentase dan jangka waktu pelaksanaan divestasi saham.

(Baca: Aturan Direvisi, Freeport Bisa Perpanjang Kontrak Tahun Ini)

Keempat, pemegang kontrak karya akan mendapat izin ekspor setelah mengubah statusnya menjadi IUPK Operasi Produksi. Kelima, bagi pemegang IUP operasi produksi diberikan kesempatan untuk ekspor hasil pengolahan dalam jumlah dan jangka waktu tertentu. 

Keenam, ekspor diberikan dengan catatan telah atau sedang membangun fasilitas pemurnian (smelter) di dalam negeri, baik secara sendiri atau bekerja sama sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Selain itu, wajib membayar bea keluar atas hasil pengolahan yang dijual ke luar negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Ketujuh, pemerintah membatasi ekspor mineral mentah untuk beberapa komoditas. Ekspor tersebut tidak berlaku bagi enam jenis komoditas tambang mineral logam yakni nikel, bauksit, timah, emas, perak, dan kromium.

Kedelapan, pengenaan bea keluar digunakan untuk pembiayaan pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian oleh BUMN yang ditunjuk oleh Menteri. Kesembilan, pemerintah memberikan insentif fiskal dan nonfiskal dalam rangka mendukung percepatan pembangunan fasilitas pemurnian. (Baca: Pemegang Kontrak Karya Bisa Ekspor Konsentrat setelah Ubah Kontrak)

Kesepuluh, pemegang IUP/IUPK operasi produksi wajib untuk menjamin pasokan kebutuhan mineral logam bagi fasilitas pemurnian di dalam negeri. Terakhir, pemegang IUP/IUPK operasi produksi, IUP operasi produksi khusus wajib  mengolah dan memurnikan nikel kadar rendah dalam jumlah atau persentase tertentu.