Perubahan status Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) merupakan salah satu poin yang masih menjadi perdebatan dalam pembahasan revisi Undang-Undang (UU) Migas. Beberapa pihak mendukung perubahan status SKK Migas menjadi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Khusus, salah satunya mantan Direktur Utama (Dirut) PT Pertamina (Persero) Ari Soemarno.
Dia mengatakan KK Migas memang seharusnya berbentuk badan tersendiri, sebagai representasi negara yang khusus mengatur tentang kegiatan usaha hulu migas di Indonesia. "Kalau pendapat saya pribadi, sebaiknya itu diatur dengan badan sendiri. Harus diatur BUMN tersendiri. Saya setuju dengan konsep itu. Yang khusus sifatnya," ujar Ari saat ditemui di Hotel Bidakara, Jakarta, Selasa (29/11).
Menurutnya, fungsi dan wewenang SKK Migas saat ini tidak bisa dikembalikan lagi ke Pertamina, seperti sebelum adanya UU Migas. Alasannya, Pertamina harus bisa berkonsentrasi kepada kegiatan operasional hulu migasnya. (Baca: Revisi Undang-Undang, DPR Belum Bulat Sikapi Status SKK Migas)
Pertamina juga dituntut untuk bisa menjadi operator yang memiliki kualitas yang mumpuni, untuk bersaing dengan kontraktor migas lainnya. Dengan tuntutan ini, Pertamina seharusnya tidak bisa lagi diganggu dengan urusan administratif yang biasa dikerjakan SKK Migas.
Dia juga mengatakan saat ini UU BUMN juga sedang dalam proses untuk direvisi. Ini membuat payung hukum Pertamina sebagai BUMN jadi masih belum jelas. Dia menambahkan, secara umum dalam pasal 33 UUD 1945, disebutkan bahwa kekayaan alam seutuhnya dimiliki oleh negara untuk kemakmuran rakyat. Dengan dasar ini, dia menilai kepengurusan kekayaan alam ini tidak bisa diserahkan begitu saja kepada Pertamina, hanya pengelolaannya saja.
(Baca: Arcandra Dukung Aset Migas Dialihkan kepada Pertamina)
Terkait dengan masalah kelembagaan ini, Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar sempat membuka opsi penggabungan SKK Migas dengan Pertamina. Dia menyinggung mengenai aset cadangan migas nasional yang saat ini masih dikelola oleh SKK Migas.
Padahal SKK Migas bukanlah lembaga bisnis, sehingga tidak bisa melalukan monetisasi aset tersebut. Ke depan, ia berharap, aset tersebut bisa dimonetisasi sebagai tambahan sumber pembiayaan. “Bagaimana caranya aset bisa leverage, kami manfaatkan agar national company bisa kuat,” ujar dia.
Di sisi lain, Kepala Humas SKK Migas Taslim Z. Yunus mengaku khawatir jika aset-aset migas berpindah dari SKK Migas dan digunakan sebagai jaminan dalam bentuk utang atau bon. "Itu bahaya karena fluktuasi harga minyak itu tidak tentu, kalau tiba-tiba harga minyak naik dan turun bagaimana," kata dia kepada Katadata Selasa, (1/11).
(Baca: Limpahan Aset dari SKK Migas Bisa Perbesar Belanja Modal Pertamina)
Agar aset cadangan migas bisa termanfaatkan dengan baik, maka dia meminta Pertamina harus bisa memonetisasi cadangan migas secara cepat. Tujuannya agar aset tersebut tidak mengendap lama di dalam tanah.
Pemerintah berharap permasalahan ini bisa diselesaikan dalam revisi UU Migas. Masalahnya revisi ini masih belum jelas kapan bisa rampung. Ari melihat proses pembahasan revisi UU Migas berjalan amat lambat. Beberapa anggota DPR mengatakan kepadanya bahwa revisi UU Migas ini baru akan dibawa ke badan legislasi (baleg) pada awal tahun depan.
Namun, dia pun masih pesimistis UU Migas ini dapat disahkan DPR pada 2017. "Kalau itu mau diselesaikan tahun depan belum tentu juga. Saya lihat kok ini tertunda-tunda terus. Kapan nih mau diselesaikan. Jadi ya, argumentasi-argumentasinya masih cukup tajam di DPR sendiri," ujar Ari.
(Baca: Pemerintah Harus Selesaikan Tiga Aspek dalam RUU Migas)