Pemerintah berencana merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 79 tahun 2010 tentang biaya operasi yang dapat dikembalikan (cost recovery) dan pajak penghasilan di bidang usaha hulu minyak dan gas bumi (migas), untuk membangkitkan animo investasi. Namun, rencana itu bukan jaminan bakal dapat menjawab persoalan. 

Dewan Penasehat Reforminer Institute Pri Agung Rakhmanto mengatakan, selama ini sektor hulu migas menggunakan skema kontrak bagi hasil, dimana kontraktor mengikat kontrak dengan badan pemerintah. Jadi, bukan berkontrak dengan perusahaan negara.

Alhasil, kontrak itu akan tetap menjadi subyek pajak secara langsung. “Perubahan PP Nomor 79 Tahun 2010 tidak akan mengubah keadaan bahwa kontrak tetap akan menjadi subyek dan menanggung pajak-pajak tidak langsung,” kata dia kepada Katadata, Kamis (4/8).

(Baca: Jokowi Dorong Revisi Aturan Cost Recovery dan Pajak Hulu Migas)

Jadi, akar masalah di industri hulu migas bukanlah pada aturan tersebut, melainkan pada Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi Nomor 22 tahun 2001 tentang Migas. Karena itu, selama tidak ada revisi tata kelembagaan atau revisi UU Migas, aturan dalam PP 79/2010 tersebut sebenarnya tidak keliru.

Menurut Pri Agung, kemunculan UU Migas itu ikut mengubah tata kelola kelembagaan hulu migas. Bahkan, beleid itu sudah menyimpang dari filosofi kontrak bagi hasil yang sebenarnya. Filosofi kontrak bagi hasil yang terkait pajak adalah negara tidak akan mengenakan pajak terhadap aset yang dimiliki negara sendiri.

Jenis pajak di dalam kontrak hanya pajak penghasilan dan pajak atas hasil keuntungan lain. Jadi, pajak selain itu memang bakal menghambat industri hulu migas. “Tapi dalam mengenakan pajak, otoritas perpajakan sebenarnya hanya mengikuti dan menyesuaikan saja terhadap tata kelembagaan hulu migas yang digunakan,” kata dia. (Baca: Asosiasi Migas Nilai Beleid Cost Recovery 2010 Biang Lesunya Investasi)

Di sisi lain, menurut Pri, PP 79/2010 ini bukan merupakan peraturan turunan dari UU Migas 22/2001. Melainkan turunan dari UU 36/2008 tentang pajak penghasilan.

Jadi, yang berwenang merevisi PP tersebut bukan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), tapi oleh Kementerian Keuangan.

Sementara itu, Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) I.G.N. Wiratmaja Puja mengatakan sesuai dengan arahan Menteri ESDM Arcandra Tahar, PP ini perlu revisi. Tujuannya agar investasi di hulu migas lebih menarik.‎

Ia mengatakan, banyak usulan dari Kementerian ESDM seperti Pajak Bumi dan Bangunan yang sudah dihilangkan, ada juga revisi mengenai Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penghasilan badan. Kemudian pajak di daerah kalau bisa dihilangkan. (Baca: 23 Kontraktor Migas Terjerat Sengketa Pajak Rp 3,2 Triliun)

Tapi, menurut Wiratmaja, ada usulan dari pelaku industri ‎hulu migas agar kembali seperti sebelum adanya PP Nomor 79 tahun 2010. “Tetap ada pajaknya tapi assume and discharge,” kata dia di Kementerian ESDM, Jakarta, Kamis (4/8).