KATADATA - Polemik terus mengiringi proses divestasi 10,64 persen saham PT Freeport Indonesia kepada pemerintah Indonesia. Demi mengawal proses pembelian saham perusahaan tambang emas dan tembaga di Papua itu agar lebih transparan, pemerintah akan membentuk tim khusus. Tim itu akan berisi beberapa perwakilan dari lintas kementerian terkait.
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Minerba) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bambang Gatot mengatakan tim itu terdiri atas perwakilan dari Kementerian ESDM, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Keuangan, dan Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Selain itu, perwakilan dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Tugas utama tim khusus tersebut adalah mengkaji divestasi saham Freeport.
“Itu baru pembahasan awal mengenai sikap kami setelah menerima surat penawaran dari Freeport McMoran. Kami akan lihat mekanisme dan kajiannya seperti apa,” kata Bambang di Gedung Direktorat Jenderal Minerba, Jakarta, Senin (18/1).
Di tempat yang sama, Kepala Bidang Hukum Kementerian ESDM Hufron mengatakan, pengambilan keputusan divestasi saham Freeport juga akan melibatkan konsultan independen. "Itu juga dimungkinkan dalam aturan menteri," imbuhnya.
Seperti diketahui, Kementerian ESDM telah menerima surat penawaran divestasi 10,64 persen saham Freeport Indonesia pada Rabu pekan lalu (13/1) atau satu hari sebelum tenggat waktu penawaran divestasi saham tersebut. Dengan mengacu kepada total nilai saham Freeport saat ini sebesar US$ 16,2 miliar, perusahaan tambang asal Amerika Serikat itu mematok nilai 10,64 persen saham divestasinya sebesar US$ 1,7 miliar atau sekitar Rp 23,5 triliun.
(Baca : Freeport Akan Lepas 10 Persen Saham Senilai Rp 23,5 Triliun)
Menanggapi penawaran tersebut, pemerintah masih melakukan kajian sehingga belum bisa menilai harga wajar saham divestasi Freeport. Jika hasil kajiannya menunjukkan harga penawaran itu terlalu mahal, pemerintah tentu akan meminta harganya kembali dinegosiasikan.
Menurut Bambang, pemerintah masih mempunyai waktu selama 60 hari untuk memutuskan apakah akan membeli saham Freeport atau tidak. Ini mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 77 tahun 2014 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Mineral dan Batubara.
Dalam aturan tersebut, jika selama 60 hari pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota tidak berminat atau tidak memberi jawaban maka saham divestasi akan ditawarkan kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) secara lelang. Jika BUMN dan BUMD tidak berminat maka akan ditawarkan ke swasta nasional, juga dengan cara lelang.
Namun, menurut Bambang jika dalam 60 hari tersebut belum ada kesepakatan harga, pemerintah bisa memperpanjang masa penawaran. Ia mengacu kepada penawaran saham divestasi PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) yang hingga kini masih terus diperpanjang.
(Baca : Jalan Berliku Kontrak Freeport)
Sebelumnya, Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) telah menyatakan kesediannya untuk membeli saham divestasi Freeport. Menteri BUMN Rini Soemarno mengungkapkan, ada dua opsi agar saham tersebut bisa dimiliki oleh negara, yakni lewat pemerintah atau melalui BUMN sebagai perusahaan negara. Jika pemerintah yang akan membeli saham itu, berarti menggunakan anggaran negara. Masalahnya pemerintah tidak menganggarkan dana tersebut dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2016.
(Baca : Kementerian BUMN Pastikan Ambil Saham Freeport)
Namun jika yang digunakan adalah opsi pembelian melalui BUMN, Rini menyatakan telah menyiapkan konsorsium empat BUMN. Keempat perusahaan [pelat merah itu adalah PT Aneka Tambang Tbk, PT Indonesia Asahan Aluminium, PT Bukit Asam Tbk, dan PT Timah Tbk. Dari segi pendanaan, dia menilai konsorsium empat BUMN tersebut mampu membiayai pembelian 10,64 persen saham Freeport.