KATADATA - Surat atas nama Setya Novanto yang beredar beberapa hari lalu masih menjadi perhatian publik. Mewakili PT Orbit Terminal Merak, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat itu menagih PT Pertamina untuk membayar utang sewa terminal penyimpanan Bahan Bakar Minyak yang terletak di Merak, Banten. Namun, petinggi perushaan negara itu belum menggubrisnya.
Direktur Hilir Pertamina Ahmad Bambang mengatakan direksi masih menunggu proses renegosiasi dengan Orbit. Selain itu, menanti telaah Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan. Apalagi, masalah kontrak sewa ini sudah ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi. “Daripada bayar terus ditangkap KPK, dianggap korupsi, ngapain?” kata Ahmad Bambang di kantor Pertamina, Jakarta, Jum'at, 20 November 2015.
Menurut Ahmad, Pertamina tidak membayar sewa lantaran belum ada kesepakatan renegosiasi kontrak, terutama terkait tarif sewa, losess atau nilai selisih akhir BBM, serta produk yang akan ditampung terminal BBM. Pertimbanganny, Orbit memberi harga yang tidak wajar dalam perjanjian sewa terminal pada Oktober 2014. Pertamina berharap tarif bisa turun dengan bantuan negosiasi BKPP dan Satuan Pengawas Internal sebagai fungsi legal. “Dengan negosiasi dia, (tarif) udah turun,” ujarnya. Sayang, Ahmad tidak mau menyebutkan berapa angkanya.
Sumber Katada mengatakan, pada kontrak yang lama, nilai sewa terminal termasuk pajak sebesar US$ 6 per kiloliter per bulan. Sementara itu, volume BBM yang dititipkan Pertamina sekitar 282,5 ribu kiloliter. Artinya, dalam setahun pertamina mesti membayar US$ 20,34 juta. (Baca: Soal Surat Setya Novanto, Dirut Pertamina: Itu Cuma Urusan Bisnis).
Jumlah tersebut tentu begitu besar bila menimbang nilai perusahaan Orbit. Terminal BBM ini sebelumnya dimiliki PT Oiltanking Merak. Dari anak usaha Oiltanking GmbH, perusahaan asal Jerman, itu Orbit lalu membelinya senilai US$ 100 juta melalui mekanisme kredit. “Kalau nilainya sebesar itu, lebih baik Pertamina yang membeli. Lima tahun sudah lunas,” katanya.
Yang menjadi lebih runyam, kata dia, pemilik Orbit diduga anak Muhamad Riza Chalid. Pengusaha migas ini bertemu Setya Novanto dan Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsuddin di Pacific Place, Jakarta untuk mengatur perpanjangan kontrak Freeport. Pertemuan tersebutlah yang kemudian geger setelah Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said membawa rekaman perbicangan ketiganya ke Mahkamah Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat. (Baca: Tiga Orang di Balik Rekaman Skenario Kontrak Freeport).
Tommy Tumbelaka, pengusaha migas yang dekat dengan Oiltanking, mengatakan harga sewa tersebut sebenarnya lebih rendah jika membandingkannya dengan sewa di Singapura. Di negara tersebut, standar sewa tangki penyimpanan US$ 8 per kiloliter per bulan.
Dengan perhitungan tersebut, penawaran Orbit sepertinya lebih murah. Namun, bila ditelisik lebih dalam akan terlihat sebaliknya. Sebab, dengan sewa US$ 6 per kiloliter, tangki tersebut hanya sekitar separuhnyanya yang dipergunakan. “Di Singapura itu full tank,” ujarnya.
Sementara itu, Ahmad Bambang menyatakan tarif sewa yang wajar di antaranya pada terminal Vopak Jakarta dan Oiltanking Tanjung Balai Karimun. Meski begitu, Ahmad meminta Orbit lebih memberi toleransi dalam menentukan losess, bukan 0,3 persen seperti kontrak sebelumnya, tetapi 0,2 persen sesuai standar losess internasional.
Selain itu, selam ini produk Pertamina yang boleh masuk ke terminal Orbit sebatas Premium dan Solar. Adapun produk Pertamina lainnya seperti pelumas tidak memiliki kapasitas untuk disimpan. “Semestinya, kalau mau pakai Pertalite pun boleh, wong kita sewa,” ujarnya. (Baca pula: Luhut Usul Tambang Freeport Tahun 2021 Diambil Alih Antam).
Dengan beredarnya surat Setya Novanto tersebut, Ahmad merasa Pertamina tidak dirugikan. Baginya, yang terpenting adalah menyelesaikan pembahasan dengam BPKP agar ditindalkanjuti oleh KPK. Bila KPK sudah memberi lampu hijau bahwa kontrak tersebut tidak masalah, dia berjanji perselisihan ini segera selesai.
Sebelumnya, setelah menerima surat dari Setya Novanto, Direktur Utama Pertamina Dwi Soecipto menyatakan menindaklanjuti dengan berkomunikasi dengan Orbit. Menurutnya, masalah dalam kerja sama ini sudah muncul lama dan dalam penyelesaian. “Kami tahu bahwa sewa ketinggian, persyaratan kurang fair, jadi perlu revisi,” ujarnya kepada Katadata. Karena itu, Dwi tidak mau menanggapi permintaan Setya Novanto dengan tergesa-gesa.
Sumber Katadata lainnya di industri migas mengatakan, sebelum meminta bantuan Setya Novanto, Orbit pernah mendekati Ari Soemarno. Mantan Direktur Utama Pertamina itu diminta menagih utang sewa terminal BBM kepada perusahaan yang pernah dipimpinnya itu. Namun, Ari menolak permohonan yang disampaikan pada September 2013 tersebut.