Anggaran Cost Recovery 2016 Turun Jadi Rp 158,5 Triliun

Katadata | Dok.
Penulis: Safrezi Fitra
13/10/2015, 12.03 WIB

KATADATA - Badan Anggaran (Banggar) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memutuskan anggaran cost recovery tahun depan sebesar US$ 11,4 miliar atau Rp 158,5 triliun (dengan asumsi kurs tahun depan Rp 13.900 per dolar Amerika Serikat). Nilai ini lebih rendah dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2015 yakni US$ 14,1 miliar.

Bukan hanya lebih rendah dari anggaran tahun ini, cost recovery yang ditetapkan Banggar juga lebih rendah dari rencana kerja dan anggaran perusahaan (RKAP) 2015. Dalam revisi RKAP 2015, total cost recovery atau pengembalian biaya operasi migas yang diajukan kontraktraktor kontrak kerja sama (KKKS) mencapai US$ 16,1 miliar.

Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Teguh Pamudji mengatakan sebenarnya Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas memperkirakan cost recovery untuk tahun depan sebesar US$ 15,9 miliar. "Tapi Banggar sudah memutuskan US$ 11,4 miliar," kata dia kepada Katadata, Selasa (13/10).

(Baca: KEN Rekomendasikan Pencabutan Aturan Cost Recovery dan PPh Hulu Migas)

Komisi VII DPR pun mendukung keputusan Banggar, meski nilainya lebih rendah dari yang sudah diperkirakan KKKS dan SKK Migas atau bahkan dari anggaran tahun ini. Meski demikian, Wakil Ketua Komisi VII Satya Widhya Yudha mengatakan karena sudah diputuskan di Banggar, anggaran tersebut sudah bisa dipastikan dalam APBN 2016.

"Komisi VII memahami permintaan cost recovery yang mencapai US$ 15,9 miliar, tapi karena sudah diputuskan US$ 11,4 miliar, posisi komisi VII mendukung. Tapi apabila di perjalanan ternyata angka US$ 11,4 miliar tidak realistis di APBNP nanti bisa diadakan revisi," kata dia ketika dihubungi Katadata melalui telepon, Selasa (13/10).

Menurut Satya dengan harga minyak yang saat ini masih rendah dikisaran US$ 40 per barel juga ikut mempengaruhi angka cost recovery. Ini karena harga jasa penunjang kegiatan minyak dan gas bumi juga mengalami penurunan. "Karena tidak mungkin harga rig saat harga minyak US$ 100 per barel sama dengan ketika harga US$ 40 per barel. Otomatis akan mengurangi komponen cost recovery," ujar dia.

(Baca: Pemerintah Apresiasi Usulan Pencabutan PP Cost Recovery)

Satya juga mengatakan dengan penurunan anggaran cost recovery akan membuat SKK Migas lebih teliti lagi dalam mengawasi kinerja KKKS. SKK Migas harus bisa mencoret komponen belanja yang tidak diperlukan KKKS atau mengganti komponen yang lebih murah, selama output yang dihasilkan sama.

Penurunan anggaran cost recovery juga berpengaruh pada peningkatan penerimaan negara dari bagi hasil migas. Menurut Sathya, penerimaan dari bagi hasil migas yang didapat negara, terlebih dahulu dikurangi cost recovery.

"Kalau pegawai SKK Migas tidak mampu melakukan analisa, sehinggga mengamini semua yang diminta KKKS,  revenue (penerimaan) negara bisa berkurang. Karena belanjanya akan direimburse pemerintah melalui sharing production (bagi hasil)," ujar dia.

Dia juga menganggap penurunan cost recovery tidak terlalu berpengaruh pada lifting migas. Penurunan tersebut akan mempengaruhi lifting, jika mayoritas komponen dari cost recovery yang akan ditagihkan 2016 itu untuk blok yang baru produksi.

"Jadi korelasinya tidak bisa linear. Maksudnya kalau cost recovery turun, produksi turun itu juga tidak. Begitu juga sebaliknya," ujar dia.

Sementara itu pelaku usaha migas juga belum mengetahui penurunan angka cost recovery tersebut. Dewan Direksi Indonesia Petroleum Association (IPA) Lukman Mahfoedz juga tidak mau terburu-buru memberikan komentarnya. "Saya akan cek ya," ujar dia.

Reporter: Arnold Sirait