Pemerintah telah menyetujui dan menyiapkan dana kompensasi serta santunan kematian bagi korban terorisme. Hal ini telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2020 yang telah ditandatangani Presiden Joko Widodo Juli lalu.
Juru Bicara Presiden Fadjroel Rachman mengatakan, kerugian yang ditutupi negara berupa kompensasi, bantuan medis, dan psikologis. Korban bisa mengajukan kompensasi dan santunan kematian melalui Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
"Negara menutupi setiap kerugian yang nyata diderita setiap korban," kata Fadjroel, dalam keterangan tertulis, Jumat (18/9).
Fadjroel mengatakan kompensasi ini merupakan bagian dari kewajiban untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dari pandemi Covid-19, korban terorisme, hingga korban pelanggaran HAM. "Keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi," kata Fadjroel.
Proses untuk mendapatkan kompensasi bisa diajukan korban tindak pidana terorisme, keluarga, atau ahli warisnya. LPSK akan melakukan pemeriksaan substantif dan menghitung kerugian yang diderita oleh korban tindak pidana terorisme.
Berdasarkan Pasal 18G, disebutkan bahwa penghitungan kerugian meliptui korban luka, meninggal dunia, hilangnya penghasilan atau pendapatan, serta hilang atau kerusakan harta benda. Hasil penghitungan ditetapkan LPSK setelah mendapat persetujuan Menteri Keuangan.
Sedangkan Kementerian Keuangan telah menyetujui dan menyiapkan anggaran atas permohonan (LPSK) dengan Nomor S-775/MK.02/2020. Penetapan anggaran ini mulai berlaku sejak PP 35/2020 ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 7 Juli 2020 dan telah diundangkan pada 8 Juli 2020.
LPSK juga telah mengajukan tambahan anggaran dari Rp 79,4 miliar menjadi Rp 129 miliar. Dalam rapat dengan Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat, Selasa (18/9), Ketua LPSK Hasto Atmojo Suroyo mengatakan tambahan tersebut salah satunya untuk kompensasi korban terorisme.
Dari data Kepolisian Republik Indonesia (Polri), ada sembilan aksi terorisme yang terjadi pada 2019 atau turun 52,6% dibanding 2018. Sedangkan jumlah pelaku aksi terorisme tahun lalu sebanyak 297 orang atau turun dari 2018 yakni 395 orang.
Sedangkan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD awal tahun ini mengatakan terdapat 660 warga negara Indonesia yang diduga menjadi teroris lintas batas atau foreign terorrist fighter (FTF). "Ada di mana-mana, tapi Suriah paling banyak," kata Mahfud, Januari lalu.